[Resensi Buku] Koplax Rangers – Amad Kocil

“Hidup itu sama dengan perjalanan sebuah kereta. Kadang harus berhenti di suatu tempat untuk menerima kehadiran orang baru, sekaligus merelakan kepergian orang yang kita sayang.”

Viona, Andra, Rehan, Gilang, dan Dita mengikrarkan persahabatan mereka dengan nama Koplax Rangers. Mereka kerap menghabiskan waktu bersama. Namun, segalanya tak sekadar soal selalu kumpul bareng, bersenang-senang. Koplax Rangers mesti membayar dengan sangat mahal untuk menyadari arti sebenarnya dari persahabatan.

♣♣♣

Judul: Koplax Rangers

Penulis: Amad Kocil

Jumlah halaman: 304

Cetakan pertama: Mei 2016

Penerbit: de TEENS

ISBN: 978-602-279-224-6

♣♣♣

Kelima anak muda yang bersahabat ini memiliki karakter yang berbeda-beda. Viona, cantik, kaya, memiliki seorang ayah yang sangat menyayanginya, tetapi kehidupan cintanya kurang memuaskan. Andra, bergaya bak berandalan, lengkap dengan rambut gondrong, tetapi hatinya baik. Rehan, pemuda cungkring cupu yang gemar menulis. Gilang, mantan pecandu. Dan Dita, gadis yang tersiksa karena ketidakharmonisan dalam keluarga. Persahabatan mereka cukup erat meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Konflik mulai muncul saat Evan, mantan Viona, muncul. Secantik apa pun seorang cewek, kalau udah klepek-klepek dengan cowok tertentu, pasti tak berdaya. Itulah yang terjadi pada Viona. Meskipun segala yang dimilikinya nyaris sempurna, ternyata di bagian cintalah Viona terpuruk. Melihat Evan menggandeng cewek lain, ia pun lantas termehek-mehek di depan sahabat-sahabatnya. Tentu saja itu mengundang rasa geram mereka karena mereka tahu bahwa Evan yang sebenarnya bermasalah.

Rehan turut mengusap bahu Viona. “Vi, jangan pernah suguhkan air mata untuk laki-laki yang salah,” ujarnya lembut. Hal. 20.

Namanya juga masalah hati, petuah para sahabat tidak begitu didengarkan oleh Viona. Justru ketika Evan merayunya untuk balikan lagi, Viona luluh begitu saja. Hal ini membuat Viona merasa nggak enak dengan teman-temannya dan akhirnya memutuskan berbohong.

Berbohong kepada diri sendiri akan lebih menyakitkan ketimbang berbohong kepada sahabat-sahabatnya. Siapa pun tidak akan bisa mengingkari hati nurani. Hal. 196

Selain masalah Viona, konflik-konflik lain pun bermunculan dan berkembang. Seperti apa yang dirasakan Dita dalam rumahnya yang semakin lama semakin menyebalkan. Rehan yang terhimpit masalah ekonomi serta mendapat bully dari teman sekelasnya karena mendukung Viona dalam ajang Campus Idol.

Saya mau bahas dikit soal Rehan. Saya cukup bisa membayangkan penampilannya. Namun, ada satu dua hal yang menurut saya kurang pas. Dalam novel ini, yang diceritakan sangat rajin ke perpus adalah Viona, karena didikan dari Papanya. Sedangkan Rehan yang ingin menjadi penulis, justru bukan kutu buku. Kedua, masa-masa bully saat kuliah agak membingungkan juga. Masih ada ya anak kuliahan melakukan hal begituan. Apalagi ia punya teman-teman yang cukup berkarakter. Tingkat keseganan orang lain pasti bertambah untuknya. Tapi ya mungkin ada juga ya yang seperti itu. Cuma, kalau saya menganalisa karakter Rehan, dia bukan tipe orang yang pasrah-pasrah amat, harusnya punya kekuatan untuk melawan, meskipun tidak selalu dalam bentuk perlawanan fisik.

Percuma! Rehan mengutuk dalam hati. Di mana kalian? Rehan tersedu. Hatinya menangis. Menyadari kondisinya yang begitu memprihatinkan. Kerdil. Tidak berguna. Bahkan melindungi diri sendiri pun ia begitu payah! Sementara orang-orang yang paling diharapkannya saat ini bagai menghilang ditelan bumi. Hal 249.

Semua konflik ini diramu oleh penulis dengan lancar dan cukup menyatu. Artinya, tidak dibuat-buat dan berakhir secara kebetulan. Pada akhirnya, kelimanya sibuk menyelesaikan masalah masing-masing dan persahabatan mereka memudar. Hingga salah satu dari mereka memutuskan untuk meninggalkan kota itu dan kabar itu menjadi pemicu awal untuk mempersatukan mereka kembali.

Dalam segala bentuk persahabatan, ada yang namanya naik turun. Kadang-kadang, kita memiliki hal-hal urgent yang harus diselesaikan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Begitu juga lima sekawan ini. Ketika yang satu sibuk dengan diri sendiri, yang lain merasa diabaikan. Hal itu menjadi bibit rusaknya persahabatan dan bahkan merusak diri sendiri.

Poin utama dari novel ini adalah betapa berartinya hubungan persahabatan. Kadang kala kita tak menyangka bahwa saat kita menarik diri, ada yang terluka. Saat kita egois, ada yang menjadi korban. Meskipun, saya sih nggak se-melow itu kalau soal persahabatan. Hehehe. Apalagi para anak muda ini sudah di jenjang kuliah, dimana segala sesuatu harusnya lebih mandiri. Ada sahabat atau tidak, semua harus dikerjakan sendiri dan harus kuat. Kalau sampai lemah, ya akhirnya merugikan diri sendiri. Kondisi ini berbeda saat masih memakai seragam yang ditandai dengan persahabatan yang erat, kemana-mana selalu bersama, dan sebagainya.

Namun, novel ini menyuguhkan cerita yang mengalir dan bisa dinikmati. Ada moral of the story juga yang bisa diambil. Kepedulian terhadap sesama, mau berkorban dan tidak egois terhadap kepentingan diri sendiri adalah nilai-nilai yang harus dibangun sejak awal. Amad Kocil merangkai seluruh nilai itu dalam cerita yang ringan dan cocok untuk pembaca remaja.

Tinggalkan komentar