#BahagiadiRumah Meskipun Sederhana

300x250-novaversery

Bagi sebagian besar pasangan yang baru menikah, rumah mungkin hanya berupa impian semata. Bagaimana tidak, mereka baru saja melangsungkan pernikahan yang memakan biaya yang tak sedikit. Masih mending jika di awal pernikahan tidak ada utang yang harus dibayar. Jika ada? Tentu semakin rumit ceritanya.

Oleh karena itu, kebanyakan pasangan baru akan memilih untuk tinggal di rumah kontrakan sebelum memiliki rumah sendiri. Yang penting bisa tinggal bersama setelah resmi menjadi suami istri. Ada juga sih pilihan lain, yaitu tinggal di PMI alias Pondok Mertua Indah. Namun, saya tidak terlalu menyukai pilihan ini. Selain karena nggak mau bergantung, baik kepada orangtua sendiri maupun mertua, saya dan pasangan juga ingin belajar sendiri tentang hal-hal baru dalam pernikahan melalui pengalaman, bukan teori. Kebayang, kan, betapa banyaknya intervensi jika tinggal satu atap bersama orangtua, apalagi terhadap pasangan yang baru menikah–yang dianggap belum tahu apa-apa soal kehidupan berkeluarga.

Sebelum menikah, kami berdua adalah anak kos-kosan. Saya memang berasal dari luar pulau sehingga sudah biasa tinggal nomaden di berbagai tempat. Sementara suami, meskipun tempat kelahirannya tidak begitu jauh, lebih memilih untuk ngekos, demi alasan kepraktisan saja. Setelah menikah, lebih mudah bagi kami untuk bergabung dalam satu rumah. Tepatnya sih satu ruangan (kamar kos khusus pasutri) karena ternyata kami tidak sempat mencari rumah kontrakan gara-gara sibuk dengan persiapan pernikahan.

Bagi kami, masa-masa tersebut begitu menyenangkan. Namanya saja baru menikah. Meskipun sempit, semuanya jadi terasa indah. Kabar baiknya, kami tidak memiliki banyak tempat untuk bersembunyi. Terutama jika sedang ada konflik. Lha mau kemana lagi, wong cuma satu kamar begitu. Jadi, paling-paling kalau bertengkar, yang satu pura-pura tidur, yang lain duduk agak jauh di ujung kasur hahaha.

Semakin lama, kebutuhan untuk memiliki rumah semakin besar. Barang-barang bertambah banyak dan kami membutuhkan space khusus untuk memasak. Tentu hal ini tidak bisa direalisasikan bila hanya ada satu kamar. Karena itu, kami pun mulai mencari rumah kontrakan yang sekiranya cocok dan sesuai. Tidak mudah untuk menemukan yang sesuai dengan kriteria kami.

Berikut beberapa pertimbangan kami ketika memilih rumah kontrakan.

Konstruksi Rumah

Pengennya sih kami memiliki rumah yang bagus dan indah dengan budget yang rendah. Tapi, itu kan hampir mustahil, ya. Ada barang, tentu ada harga. Karena itu, kami nggak mau terlalu mengada-ada. Yang penting adalah rumah itu nggak terlalu “lama” dan kumuh. Meskipun dinding atau lantainya agak kotor sedikit, jika dibersihkan tentu akan kinclong lagi. Konstruksi juga berkaitan dengan apakah rumah itu pengap, sumpek, dan memiliki langit-langit yang pendek. Pernah lho, kami menemukan rumah seperti itu. Luas sih. Tapi karena langit-langitnya rendah, jadinya sumuk dan pengap. Udah deh, nggak masuk kriteria. Keberadaan jendela pun berpengaruh. Kami ingin di setiap kamar ada jendela sehingga sirkulasi udara pun lancar. Kemudian, situasi dalam rumah harus bikin sreg. Misalnya, kami pernah menemukan rumah dimana sumurnya ada di dalam rumah dan tertutup. Saya agak nggak sreg dengan keadaan itu. Alhasil, meskipun budgetnya cocok, kami nggak jadi ambil rumah seperti itu.

Lingkungan

Bagaimanapun, kami akan tinggal di rumah itu selama setahun (sesuai perjanjian kontrak). Setahun itu waktu yang cukup lama, lho. Apalagi saya dalam keadaan hamil. Kami mencoba mencari tempat tinggal yang kondusif untuk adek bayi kelak. Rumah yang berada di kawasan padat jadi pilihan belakangan. Di kawasan sepi juga nggak masuk hitungan. Kriteria selanjutnya adalah tetangga-tetangganya. Apakah mereka terkesan cuek atau ramah? Apakah ada hal-hal yang mengganggu, misalnya ada kandang binatang di sekitar rumah? Ini pernah kami temukan. Samping rumah yang akan dikontrak ternyata digunakan oleh penduduk sebagai tempat kandang ayam yang cukup banyak. Selain bau yang mengganggu, tentu banyak bakteri yang akan beterbangan gara-gara ini.

Akses

Sekali lagi, pertimbangannya adalah karena saya sedang hamil. Kami mencoba mencari rumah dengan akses yang cukup mudah ke kota supaya nanti bisa lebih gampang jika ada apa-apa. Kami pernah ditunjukkan rumah yang terletak di jalanan kampung dimana mobil tidak bisa masuk. Bukannya tidak mau hidup di kampung ya, tapi yang penting aksesnya lancar dan mudah.

Privasi

Privasi itu perlu bagi setiap keluarga. Bukan berarti kami lebih suka menutup diri dari pergaulan sosial. Setidaknya, ada privasi yang bisa kami dapatkan, baik dari lingkungan maupun pemilik rumah itu sendiri. Kami menghindari rumah kontrakan yang hanya berbatasan pintu dengan rumah induk.

Kepastian Hak Milik Rumah

Pernah ada teman yang ngontrak, tetapi akhirnya bermasalah karena rumah tersebut ternyata bukan milik sendiri si empunya. Jadi, yang dikejar-kejar justru si pengontrak. Ini tentu tidak membuat nyaman. Karena itu, kami memastikan jika kami telah membayar kewajiban kepada orang yang tepat dan tidak ada pihak lain yang tersinggung atau haknya diabaikan.

Harga

Ini tentu pertimbangan penting juga. Sebelumnya, kami menetapkan minimal dan maksimal harga rumah kontrak yang bisa kami bayar. Jika ada yang bikin sreg, tetapi di atas harga maksimal, tentu mikir-mikir juga. Meskipun godaan untuk mengambilnya sangat besar. Tapi, sekali lagi, kami harus mengenyampingkan keinginan dan mengutamakan kebutuhan.

 

Nah, cukup banyak juga ternyata pertimbangannya. Makanya, suami sempat merasa kesulitan mencari rumah kontrakan yang sesuai dengan saya yang terlalu picky. Kalau dia sih sepertinya tidak terlalu banyak nuntut harus begini atau begitu. Yang penting layak untuk ditinggali.

Karena kami berdua sama-sama bekerja, proses untuk mencari rumah ini bisa dibilang tersendat-sendat. Hanya saat libur saja, kami bisa maksimal. Ralat: dia sendiri yang mencari karena saya cepat merasa capek. Bukannya menolong malah merepotkan.

Strateginya, setelah menemukan beberapa alternatif rumah yang sesuai, dia akan membawa foto dan menceritakan rumah itu sesuai persepsinya. Saya mendengarkan dan memilih mana yang harus kami lihat ulang. Setelah kami berdua melihatnya, barulah kami berdiskusi mengenai baik buruknya. Proses ini mungkin sekitar 1 bulan hingga akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang tidak terlalu menarik (awalnya), tetapi beberapa kriteria sudah ada di rumah tersebut.

Saya jatuh hati sejak awal pada rumah ini. Meskipun proses untuk menemui pemiliknya dan akhirnya deal cukup lama. Kami harus ke sana kemari untuk memastikan beberapa hal. Namun, hasilnya tidak mengecewakan. Tidak semua yang kami inginkan ada di rumah itu, tetapi kami senang bisa mendapatkannya.

Sebelum pindah, kami beres-beres dulu selama beberapa waktu. Ini juga dibantu oleh para tetangga. Menyenangkan sekali memiliki tetangga yang peduli dan tidak cuek. Awalnya sih rumah ini terlihat biasa saja. Ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu ruang tengah. Kamar mandi dan dapur terletak di luar. Tidak terlalu sempurna. Namun, kami melihat ada masa depan di sana. Beberapa hal memang perlu diperbaiki. Misalnya saluran air, pintu belakang, dan sebagainya. Saya juga memaksa untuk mengecat dinding terlebih dahulu sebelum pindah supaya terlihat cukup bersih. Hal ini dikerjakan sendiri oleh suami tanpa bantuan orang lain.

Selanjutnya kami pun pindah. Perbaikan lainnya menyusul. Ada beberapa masalah yang harus diselesaikan, termasuk listrik. Untungnya, suami adalah tipe serba bisa. Bahkan, memperbaiki listrik pun bisa dilakukan sendiri. *tepuk tangan*

Sekitar dua bulan kemudian, rumah kami sudah terasa sangat nyaman. Kami benar-benar senang tinggal di sana. Kegiatan tambahan yang bisa kami lakukan adalah memasak. Selama hamil , saya memang tidak terlalu doyan membeli makan di luar. Sekali lagi, saya beruntung memiliki suami yang serba bisa. Dia juga bisa memasak lho. Kadang-kadang, saat saya menemukan resep di website Nova, saya akan menceritakan padanya dan ia yang mengeksekusi resep tersebut. Hal itu sekarang dimungkinkan karena kami benar-benar memiliki dapur sendiri. Hampir setiap sore, kami bercengkrama di dapur sambil menyiapkan makan malam.

Jadi, saya perlu berterima kasih dengan keberadaan Nova yang menyediakan resep-resep ciamik itu. Dengan kehadiran Nova, kebahagiaan kami dalam rumah tangga yang baru itu semakin bertambah. Apalagi dalam merayakan NOVAVERSARY, ulang tahun Tabloid Nova yang ke-28 ini, Nova semakin terlihat lebih bermanfaat. Banyak hal yang bisa saya dapatkan dan pelajari dari Nova untuk menjadi istri yang lebih baik.

Sebentar lagi, kami memiliki seorang bayi. Tempat yang kami tempati sekarang saya kira sudah cukup kondusif untuk menyambut dia. Menurut saya, tidak perlu berbagai fasilitas mewah untuk membuat sebuah rumah nyaman ditinggali. Yang penting ada cinta di sana. Ada ketentraman yang diciptakan oleh para penghuninya. Kami berusaha untuk melakukan itu. Meskipun ada satu dua yang kurang, kami berusaha untuk tetap mensyukurinya. Hal-hal kecil, yang bisa kami penuhi, kami lakukan satu-persatu. Nggak perlu terlalu ngoyo, begitu kata orang Jawa. Seadanya dan secukupnya saja. Yang penting kami bahagia bisa bersama di rumah.

Tentu, di masa depan, kami ingin memiliki rumah sendiri. Hal ini kami realisasikan dengan mencari informasi KPR. Meskipun bertipe sederhana, bagi kami tidak masalah. Kami bisa menerapkan konsep rumah tumbuh di rumah kami nanti. Memang butuh dana yang tidak sedikit, tetapi kami bisa melakukannya secara perlahan.

Mendapatkan sesuatu dengan cara yang instan tentu rasanya akan biasa saja. Berbeda ketika kita berusaha dengan keras dan hasil dari jerih payah sendiri akan membuat kita lebih merasakan nikmatnya. Saat sudah didapatkan pun pasti akan lebih disyukuri. Hal kedua yang menjadi inti pelajaran adalah tidak perlu rumah besar untuk mendapatkan kebahagiaan di rumah. Menerima dan mensyukuri apa yang dimiliki saat ini pun adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Hal itu akan mendorong kita untuk menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan.

2014-11-19 15.45.20

 

Sebelum Hari-H

Sebelum cuti, saya ingin nyoret-nyoret dikit di sini. Boleh ya? 😀

Ceritanya, saya udah lama banget nggak “nulis” di blog ini. Beberapa project terbengkalai. Pengennya sih diselesaiin. Tapi, apa daya.. si ibu hamil ini seperti kehilangan setengah kekuatannya terutama pada trimester ketiga.

Kerjaannya setiap hari ya istirahat, termasuk di rumah. Suami yang lebih banyak beraktivitas, mulai dari memasak, bersih-bersih, bahkan manasin air buat mandi. Ahh, baik banget. Jadi, saya agak kurang setuju kalau ada orang yang mengatakan bahwa kehamilan itu semata-mata hanya perjuangan ibu. Suami juga turut menanggung beban, lho. Saya malah kadang-kadang kasihan karena nggak bisa bantu apa-apa. Jangankan melayani dia sebagai suami, saya sendiri kadang masih harus ditolong olehnya.

Udah gitu, selama hamil ini, saya lebih suka makan masakan sendiri (baca: suami, saya bantu-bantu aja). Makanan jadi yang beli di warung kadang rasanya kurang pas dengan lidah saya. Meskipun sederhana, masakan sendiri bagi saya terasa lebih enak. Saya bisa makan lahap sekali. Dan karena kami berdua sama-sama baru pulang kerja pada sore hari, setelah itulah kami baru masak bareng. Romantis, kan? Haha.

Tapi, sebentar lagi saya akan cuti. HPL-nya sih masih sekitar 2-3 minggu lagi. Cuma, saya bersyukur juga bisa cuti segera. Sepertinya, saya memang butuh waktu untuk mempersiapkan dan menenangkan diri. Ada banyak distraksi yang saya temui di tempat kerja, seperti suara-suara yang bikin stres. Pengennya kuping ini lepas dari bunyi-bunyian yang tidak pas. Tapi, nggak mungkin kan memaksa orang lain untuk selalu mengutamakan kita. Meskipun gemes juga sih sama orang yang nggak peduli soal kenyamanan orang lain. Bukan hanya karena saya sedang hamil. Polusi udara itu juga dirasakan orang lain kok. Udah disindir dengan halus sampai diminta terus terang nggak mempan juga. Hhee.. Jadi, ya, cuma berusaha kuat sambil nunggu jam pulang.

Anyway…hari-hari terakhir ini, saya sibuk dengan segala persiapan. Terutama menyelesaikan berbagai pekerjaan. Saya usahakan nggak terlalu merepotkan. Meskipun adalah beberapa hal yang akan membuat rekan kerja terbebani. Kan nggak mungkin ya saya tetap bekerja selama cuti. Selain itu, persiapan benda-benda yang harus dibawa saat hari-H pun semakin gencar. Agak khawatir juga jika masih ada yang ketinggalan. Tapi, dibawa santai aja sambil dilengkapi satu demi satu setiap hari.

Keadaan tubuh lumayan fit. Memang ada beberapa keluhan seperti rasa nyeri yang perlahan-lahan datang. Tapi semoga itu adalah hal baik, untuk persiapan kelahiran nanti. Menurut bidan sih, semuanya normal. Jadi, kemungkinan melahirkan secara normal pun bisa dilakukan. Saya berdoa yang terbaik saja, normal atau tidak, yang penting ibu dan bayi tetap sehat.

Memang ada beberapa kendala, tapi saya dan suami berusaha berpikir jernih. Nggak terlalu dibikin stres karena toh juga nggak ada gunanya. Yang penting adalah tetap siaga dan siap apapun yang terjadi.

Ada satu dua teman yang hamil barengan dan sudah melahirkan kadang-kadang bikin saya iri. Hehehe. Mereka udah melewati fase itu. Saya pengennya segera aja. Tanpa sadar udah lewat gitu lho. Tapi kan nggak mungkin ya. Ya sudah sambil dinikmati aja. Nanti kalau udah selesai pasti akan merasa lega. (Meskipun setelahnya pun babak baru resmi dimulai).

Nah, itu dulu untuk kali ini. Sampai bertemu kembali setelah hari-H. Saya rasa udah nggak sempat menulis lagi sebelum selesai. Semoga semua baik-baik saja dan saya bisa kembali ke sini lagi. Yukk optimis dan semangaatttt! 😉

[Resensi Buku] Celia dan Gelas-Gelas di Kepalanya – Lugina W.G. dkk.

Cerita-cerita pendek di kumpulan ini telah berusaha dengan baik menarik lepas persoalan kecil dari satu dunia besar kemudian menjadikannya jalan masuk bagi para pembaca untuk kembali ke dunia dari mana cerita itu berasal.

– M Aan Mansyur, novelis dan penyair

♣♣♣

Celia tak pernah mengerti, mengapa Puffin tak bisa berhati-hati. Ia menyenggol perabotan ke mana pun ia pergi; gelas beradu menyentuh lantai.. Prang! Seingat Celia, dulu Puffin tak pernah bertingkah nakal. Ia manis dan begitu lembut.

Namun, Celia kini sering terpaksa memarahi Puffin. Celia benci melihat pecahan gelas berhamburan. Ia sungguh benci terbangun di malam hari karena bunyi gelas-gelas bertumbukan. Bermalam-malam ia dihantui mimpi pecahan kaca yang mengejarnya seperti gerombolan lebah. Menyengat dan menancap di kepalanya seperti mahkota.

Celia dan Gelas-Gelas di Kepalanya (Lugina W.G)

♣♣♣

Jika selama ini mendengarkan musik, menonton film, atau menghirup aroma parfum menjadi pilihan untuk memperbaiki mood, coba tambahkan kumpulan cerpen #KampusFiksiEmas2016 ini.

Pembaca akan menyaksikan aroma parfum, mendengarkan film bisu, atau membaui kuatnya pengaruh musik kepada manusia. Coba buka, dan ikuti ke mana mata membawa indra lain mengembara.

♣♣♣

Judul: Celia dan Gelas-Gelas di Kepalanya

Penulis: Lugina W.G dkk.

Penerbit: Diva Press

Cetakan pertama: Mei 2016

Jumlah halaman: 256

ISBN: 978-602-391-147-9

♣♣♣

Membaca sebuah cerpen rasanya memang tidak sama dengan membaca sebuah novel meskipun keduanya sama-sama karya fiksi.

Saat membaca novel, saya harus berusaha untuk terus-menerus menggali ingatan supaya tak tersesat ketika terpaksa berhenti dan menyelinginya dengan kegiatan lain. Apalagi jika novel tersebut lumayan tebal sehingga butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.

Berbeda ketika membaca cerpen—yang biasanya selesai dibaca dalam waktu sekali duduk. Ceritanya bisa utuh. Justru setelah selesai proses membaca itulah ada yang terkenang-kenang. Tentu ini berlaku pada cerpen-cerpen yang mengena secara personal.

Seperti yang dikatakan M Aan Mansyur dalam pengantarnya, tidak semua cerpen dalam kumpulan ini menarik perhatiannya, demikian juga saya. Sah-sah saja kan secara subjektif kita menilai kisah mana yang paling menarik. Yang lain? Belum tentu jelek juga kok.

Maka jika boleh memilih, ada 3 cerpen yang membuat saya terkesan, yaitu Celia dan Gelas-gelas di Kepalanya (Lugina W.G), Goodbye (Ghyna Amanda), dan Fatwa Soal Lelaki dan Perempuan (Amaliah Black).

Celia dan Gelas-gelas di Kepalanya

Puffin adalah kucing Celia yang dulu manis dan lembut. Sekarang, kucing itu begitu serampangan dan senang memecahkan berbagai perabotan pada saat malam tiba. Setidaknya, itulah yang dikira Celia. Ia masih kecil dan tak paham apa yang sedang terjadi dalam keluarganya.

Kenyataannya, “Bukan Puffin. Papa yang memecahkan gelas-gelas. Bukan Puffin. (Hal 103)”. Namun, dalam pikiran gadis kecil itu, ada semacam penolakan terhadap kenyataan. Bagaimana bisa Papa yang dulu sangat baik menjadi beringas?

Penulis meramu cerpen ini dengan sangat halus. Ada makna yang sangat dalam yang ingin disampaikannya. Ia meminjam mata seorang gadis kecil yang terjebak dalam ketidakharmonisan orangtua. Sesungguhnya, pertengkaran antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan sangatlah kompleks. Tapi, apakah anak-anak bisa memahami kekompleksan itu dan bisa menerimanya?

Anak-anak cenderung tak tahu apa yang sedang diperdebatkan oleh orangtuanya. Mereka tahunya ada perubahan situasi dan itu tak menyenangkan. Sebagai gadis kecil yang mengalami perubahan situasi tak mengenakkan, Celia hanya melihat Puffinlah sebagai penyebab semua kekacauan tersebut. Cerpen ini menyentil para orangtua untuk lebih menjadi teladan.

Goodbye

Tokoh “aku” sedang melaksanakan sebuah misi melalui perjalanannya ke Yokosuka dari Kobe. Misi itu adalah mengikuti pesan terakhir  sang Paman yaitu membawakan karangan bunga untuk gitaris bernama Hide yang terlebih dahulu meninggal. Paman adalah fans garis keras Hide.

Yang dimaksud dengan “garis keras” adalah benar-benar memengaruhi hidup seseorang, bahkan hingga membuatnya mengambil keputusan-keputusan ekstrem. Nggak masuk akal? Tapi itu bisa saja terjadi. Lihat saja para fans band-band masa kini atau fans JKT48, mungkin?

Dalam perjalanan tersebut, “aku” bertemu dengan seseorang yang berpenampilan aneh. Kedua tokoh ini duduk berdampingan dan memiliki kesempatan ngobrol yang cukup panjang.

Bagi saya, percakapan mereka sangat natural. Seperti hal-hal yang akan terjadi pada orang yang baru berkenalan dan kemudian tanpa sadar mengalirkan cerita-cerita yang tak seharusnya disampaikan kepada orang asing. Hal ini dituangkan oleh si penulis dengan baik. Tidak terlalu akrab, tapi juga tak paranoid.

Sebenarnya, perjalanan itu sangat berarti, mungkin bagi keduanya, tapi terlebih bagi “aku”. Ada yang disebut rekonsiliasi atas apa yang telah terjadi pada sang Paman. Intinya, sebuah “perjalanan” akan membuat kita mengerti mengenai apa yang awalnya tak kita mengerti. Ada petunjuk-petunjuk—yang bisa muncul dalam bentuk apa saja—yang memberi kita pemahaman secara magis.

Fatwa Soal Lelaki dan Perempuan

Cerpen ketiga ini bercerita tentang seorang gadis kecil bernama Srikandi yang tak beruntung karena lingkungan hidupnya. Awalnya, ia sangat memuja ibunya yang dianggapnya sebagai utusan Tuhan. Namun, ia sampai pada kenyataan pahit, ibunya ternyata tak seperti anggapannya selama ini.

Satu demi satu, seiring dengan usianya yang menanjak, pemahaman Srikandi semakin dalam. Ia melihat bukti bahwa ibunya tak berlaku seperti ibu yang baik. Begitu juga ketika banyak orang mempergunjingkan sang Ibu. Kekecewaannya semakin mencuat. Namun, apa daya, ia hanyalah gadis kecil yang tak memiliki ayah dan dicecoki dengan cerita Siti Maryam yang mengandung pula tanpa suami.

Sekali lagi, kisah ini merekam sejarah kegagalan orangtua sehingga anak-anak menjadi korban. Pada akhirnya, kita akan melihat bahwa kehidupan anak-anak tersebut pada masa selanjutnya tak jauh berbeda dengan apa yang mereka alami semasa kecil.

♣♣♣

Selain dari ketiga cerpen ini, cerpen yang lain juga layak untuk dinikmati dan dihargai. Meskipun kadar kenikmatannya dalam porsi yang berbeda-beda untuk setiap orang. Namun, saya tak memungkiri bila ketigabelas cerpen yang ada dalam kumpulan ini bukan jenis cerita yang abal-abal. Ada yang membekas setelah kita selesai membacanya. Tema yang ditetapkan, yaitu musik, film, dan parfum, benar-benar menyatu dengan cerita dan membuat cerita tersebut semakin hidup dan menarik.

[Resensi Buku] Maple Terakhir – Aning Lacya

Bukan seberapa pentingnya masa lalu, tapi seberapa jauh kamu belajar darinya.

Apa kau pernah ingin berlari dari masa lalu tapi justru semakin tenggelam di dalamnya? Camille sedang mengalaminya. Mencoba berbagai cara dan masih dihantui masa lalu.

Camille berencana melakukan hal yang sama sekali baru: bolos kuliah, dan bertekad melihat dunia yang sama sekali baru baginya.

Di sanalah ia bertemu Joulien. Bahagia mendapat sahabat baru, Camille bersepeda untuk menikmati reruntuhan daun maple. Di sanalah ia memberanikan diri untuk menyapa Ken.

Dua kebiasaan baru. Dua sahabat baru. Tapi ternyata, Camille pada akhirnya harus tetap berhadapan dengan masa lalu yang baru.

Camille harus menghadapinya kali ini, karena ia tak mungkin selamanya berlari.

“Untuk orang-orang yang percaya, selalu ada harapan di masa yang akan datang.”

♣♣♣

Judul: Maple Terakhir

Penulis: Aning Lacya

Penerbit: PING

Cetakan pertama: 2016

Jumlah halaman: 188

ISBN: 978-602-407-002-1

♣♣♣

Awalnya, saya belum benar-benar menangkap maksud dari kisah dalam novel ini. Adalah seorang gadis bernama Camille yang ingin menemukan hal baru dalam hidupnya dan meninggalkan masa lalu. Secara singkat, dia menceritakan bagaimana hubungannya dengan seorang lelaki akhirnya kandas karena dia diperlakukan seperti robot, bukan kekasih. Karena itu, Camille memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka meskipun ia masih cinta.

“Ia yakin, ia masih mencintai laki-laki di masa lalunya. Tapi ia juga sangat yakin untuk tidak lagi melanjutkan hubungan tersebut. Jika saja laki-laki itu memercayainya, memberi sedikit ruang gerak, dan memberinya kesempatan untuk sesekali merasa benar, Camille masih akan mempertahankannya.” Hal 11.

Tidak ada nama. Tidak ada penjelasan yang lebih lanjut. Intinya adalah Camille ingin pergi dari kenangan tersebut dan menemukan hal-hal baru supaya tak teringat lagi pada kehidupan cintanya yang tak menguntungkan.

Pada sebuah pameran fotografi, Camille bertemu dengan seorang gadis bernama Joulien. Pertemuan mereka seperti ada yang mengatur dan kemudian mereka pun berteman. Mereka sama-sama suka fotografi dan selanjutnya akan menjadi sepasang sahabat.

Tidak berapa lama kemudian, Camille kembali bertemu dengan orang baru. Namanya Ken. Ken dan Joulien, kenalan baru Camille, sama-sama pecinta bokeh. Apakah bokeh itu? Tidak ada penjelasan detail mengenai hal itu dalam novel ini. Saya hanya mencoba meraba-raba artinya apa (karena sangat amatir dalam bidang fotografi). Setelah searching, kira-kira bokeh itu artinya area blur (out of focus) di luar titik fokus dalam foto. Hmm..

Cerita pun terus bergulir. Penulis bercerita tentang Camille yang sibuk menulis novelnya berjudul Questions for Love. Kemudian Camille bertemu kembali dengan Ken. Dan seterusnya. Percakapan-percakapan yang terbangun di antara mereka menurut saya agak-agak absurd dan puitis. Misalnya, saat Camille mengatakan pada Ken, “Ajak aku mengenal duniamu. Kemudian, ajak aku membentuk duniaku.” Ini kan bukan percakapan sehari-hari yang kita temui, apalagi pada orang yang belum terlalu lama dikenal. Percakapan-percakapan Ken dan Camille lebih seperti diskusi mengenai makna hidup dan kehidupan mereka saat ini dan masa lalu. Bukan termasuk dalam percakapan yang ringan.

Jika diamati, cerita didominasi oleh interaksi antara Ken dan Camille. Disela pula oleh seseorang yang ternyata pernah menjadi orang penting dalam hidup Ken. Sebut saja, “mantan”. Inilah yang menjadi bibit “konflik” dalam cerita yang awalnya datar-datar saja ini. 

Pada halaman 65, kita akan menemukan sebuah bagian yang mulai memancing emosi. Ternyata, Ken memiliki masa lalu yang dikenal Camille sebagai hal baru baginya. Dan Camille samasekali tidak mengetahui hal itu pada awalnya. Setelah tahu, duarr, ia pun kaget.

“Ken masih mengingat pertanyaan gadis itu. Hari ini cukup mengejutkan baginya. Entah ia harus gembira menyambutnya, ataukah ia akan memilih mundur dan memutuskan tak lagi memasukkan gadis itu dalam kehidupannya. Setahunya, ia memang menunggu saat-saat seperti itu.” Hal 68.

Nah dari sini, konflik mulai sedikit menarik. Meskipun lebih pada konflik dalam batin para tokoh. Hanya sedikit bagian yang menunjukkan konflik terbuka. Camille hanya menyimpan semua yang ia ketahui tentang teman-teman barunya itu dalam hati dan menjadi bingung dengan perasaannya. Ia kembali dilempar pada masa lalu berkaitan dengan cinta.

Secara keseluruhan, novel ini memiliki banyak ungkapan, istilah, dan kalimat yang bermakna dalam. Sehingga tidak mudah bagi kita untuk sekali baca langsung mengerti. Ada maksud-maksud lain yang ingin disampaikan penulis melalui kata-katanya yang bersayap. Diskusi-diskusi yang ada dalam sebuah percakapan ingin mengajak pembaca merenungkan sesuatu, terutama makna masa lalu.

Konflik yang dibangun menurut saya lumayan menarik meskipun itu baru muncul pada pertengahan cerita. Namun, adakalanya saya merasa sedikit gemas karena rasanya flat. Akhirnya saya cenderung men-skip bagian-bagian tertentu.

Setelah membaca seluruhnya, saya menjadi tahu apa yang dimaksudkan oleh penulis. Dan itu membuat saya harus kembali untuk melihat lagi bagian sebelumnya. Ohhh… jadi ini maksudnya. Yaaa.. rasa-rasanya seperti tidak ada koneksi yang terbentuk antara otak saya dengan rangkaian alur cerita. Bahkan, sempat juga pikiran saya lari kemana-mana saking lambatnya alur cerita berjalan.

Selain itu, saya juga belum bisa membayangkan karakter para tokoh, mulai dari usia mereka berapa atau bentuk fisik mereka seperti apa. Penjelasan semacam itu menurut saya masih minim sehingga saya harus meraba-raba seperti apa Camille, Joulien, atau Ken.

Setting cerita di novel ini adalah di luar negeri dengan kota-kota asing seperti Brugge, Gent, Rozenhoedkaai, dan sebagainya. Namun, saya belum terbawa oleh suasana yang berbeda. Memang ada penjelasan mengenai daun maple yang berguguran, cuaca, tempat-tempat umum, tapi tidak dengan kebudayaan masyarakat setempat, interaksi yang membawa kita menjadi lebih memahami setting yang dipilih tersebut. Padahal, bisa jadi itu menjadi pengalaman membaca yang menyenangkan karena setting yang belum pernah saya kunjungi dan berbeda dari biasanya.

Akan tetapi, tema yang ingin diangkat penulis sebenarnya bisa dimaknai dengan mendalam. Bahwa kita tak bisa menghindari masa lalu, tetapi harus menghadapinya. Karena kita akan terus dihadapkan pada masa-masa yang terus berlalu seberapapun kerasnya kita menghapusnya dari ingatan. Dan jika kita telah berani berdamai dengan masa lalu, kita akan menjadi manusia yang lebih bijak dan kuat.

[Resensi Buku] Koplax Rangers – Amad Kocil

“Hidup itu sama dengan perjalanan sebuah kereta. Kadang harus berhenti di suatu tempat untuk menerima kehadiran orang baru, sekaligus merelakan kepergian orang yang kita sayang.”

Viona, Andra, Rehan, Gilang, dan Dita mengikrarkan persahabatan mereka dengan nama Koplax Rangers. Mereka kerap menghabiskan waktu bersama. Namun, segalanya tak sekadar soal selalu kumpul bareng, bersenang-senang. Koplax Rangers mesti membayar dengan sangat mahal untuk menyadari arti sebenarnya dari persahabatan.

♣♣♣

Judul: Koplax Rangers

Penulis: Amad Kocil

Jumlah halaman: 304

Cetakan pertama: Mei 2016

Penerbit: de TEENS

ISBN: 978-602-279-224-6

♣♣♣

Kelima anak muda yang bersahabat ini memiliki karakter yang berbeda-beda. Viona, cantik, kaya, memiliki seorang ayah yang sangat menyayanginya, tetapi kehidupan cintanya kurang memuaskan. Andra, bergaya bak berandalan, lengkap dengan rambut gondrong, tetapi hatinya baik. Rehan, pemuda cungkring cupu yang gemar menulis. Gilang, mantan pecandu. Dan Dita, gadis yang tersiksa karena ketidakharmonisan dalam keluarga. Persahabatan mereka cukup erat meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Konflik mulai muncul saat Evan, mantan Viona, muncul. Secantik apa pun seorang cewek, kalau udah klepek-klepek dengan cowok tertentu, pasti tak berdaya. Itulah yang terjadi pada Viona. Meskipun segala yang dimilikinya nyaris sempurna, ternyata di bagian cintalah Viona terpuruk. Melihat Evan menggandeng cewek lain, ia pun lantas termehek-mehek di depan sahabat-sahabatnya. Tentu saja itu mengundang rasa geram mereka karena mereka tahu bahwa Evan yang sebenarnya bermasalah.

Rehan turut mengusap bahu Viona. “Vi, jangan pernah suguhkan air mata untuk laki-laki yang salah,” ujarnya lembut. Hal. 20.

Namanya juga masalah hati, petuah para sahabat tidak begitu didengarkan oleh Viona. Justru ketika Evan merayunya untuk balikan lagi, Viona luluh begitu saja. Hal ini membuat Viona merasa nggak enak dengan teman-temannya dan akhirnya memutuskan berbohong.

Berbohong kepada diri sendiri akan lebih menyakitkan ketimbang berbohong kepada sahabat-sahabatnya. Siapa pun tidak akan bisa mengingkari hati nurani. Hal. 196

Selain masalah Viona, konflik-konflik lain pun bermunculan dan berkembang. Seperti apa yang dirasakan Dita dalam rumahnya yang semakin lama semakin menyebalkan. Rehan yang terhimpit masalah ekonomi serta mendapat bully dari teman sekelasnya karena mendukung Viona dalam ajang Campus Idol.

Saya mau bahas dikit soal Rehan. Saya cukup bisa membayangkan penampilannya. Namun, ada satu dua hal yang menurut saya kurang pas. Dalam novel ini, yang diceritakan sangat rajin ke perpus adalah Viona, karena didikan dari Papanya. Sedangkan Rehan yang ingin menjadi penulis, justru bukan kutu buku. Kedua, masa-masa bully saat kuliah agak membingungkan juga. Masih ada ya anak kuliahan melakukan hal begituan. Apalagi ia punya teman-teman yang cukup berkarakter. Tingkat keseganan orang lain pasti bertambah untuknya. Tapi ya mungkin ada juga ya yang seperti itu. Cuma, kalau saya menganalisa karakter Rehan, dia bukan tipe orang yang pasrah-pasrah amat, harusnya punya kekuatan untuk melawan, meskipun tidak selalu dalam bentuk perlawanan fisik.

Percuma! Rehan mengutuk dalam hati. Di mana kalian? Rehan tersedu. Hatinya menangis. Menyadari kondisinya yang begitu memprihatinkan. Kerdil. Tidak berguna. Bahkan melindungi diri sendiri pun ia begitu payah! Sementara orang-orang yang paling diharapkannya saat ini bagai menghilang ditelan bumi. Hal 249.

Semua konflik ini diramu oleh penulis dengan lancar dan cukup menyatu. Artinya, tidak dibuat-buat dan berakhir secara kebetulan. Pada akhirnya, kelimanya sibuk menyelesaikan masalah masing-masing dan persahabatan mereka memudar. Hingga salah satu dari mereka memutuskan untuk meninggalkan kota itu dan kabar itu menjadi pemicu awal untuk mempersatukan mereka kembali.

Dalam segala bentuk persahabatan, ada yang namanya naik turun. Kadang-kadang, kita memiliki hal-hal urgent yang harus diselesaikan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Begitu juga lima sekawan ini. Ketika yang satu sibuk dengan diri sendiri, yang lain merasa diabaikan. Hal itu menjadi bibit rusaknya persahabatan dan bahkan merusak diri sendiri.

Poin utama dari novel ini adalah betapa berartinya hubungan persahabatan. Kadang kala kita tak menyangka bahwa saat kita menarik diri, ada yang terluka. Saat kita egois, ada yang menjadi korban. Meskipun, saya sih nggak se-melow itu kalau soal persahabatan. Hehehe. Apalagi para anak muda ini sudah di jenjang kuliah, dimana segala sesuatu harusnya lebih mandiri. Ada sahabat atau tidak, semua harus dikerjakan sendiri dan harus kuat. Kalau sampai lemah, ya akhirnya merugikan diri sendiri. Kondisi ini berbeda saat masih memakai seragam yang ditandai dengan persahabatan yang erat, kemana-mana selalu bersama, dan sebagainya.

Namun, novel ini menyuguhkan cerita yang mengalir dan bisa dinikmati. Ada moral of the story juga yang bisa diambil. Kepedulian terhadap sesama, mau berkorban dan tidak egois terhadap kepentingan diri sendiri adalah nilai-nilai yang harus dibangun sejak awal. Amad Kocil merangkai seluruh nilai itu dalam cerita yang ringan dan cocok untuk pembaca remaja.