Bagi sebagian besar pasangan yang baru menikah, rumah mungkin hanya berupa impian semata. Bagaimana tidak, mereka baru saja melangsungkan pernikahan yang memakan biaya yang tak sedikit. Masih mending jika di awal pernikahan tidak ada utang yang harus dibayar. Jika ada? Tentu semakin rumit ceritanya.
Oleh karena itu, kebanyakan pasangan baru akan memilih untuk tinggal di rumah kontrakan sebelum memiliki rumah sendiri. Yang penting bisa tinggal bersama setelah resmi menjadi suami istri. Ada juga sih pilihan lain, yaitu tinggal di PMI alias Pondok Mertua Indah. Namun, saya tidak terlalu menyukai pilihan ini. Selain karena nggak mau bergantung, baik kepada orangtua sendiri maupun mertua, saya dan pasangan juga ingin belajar sendiri tentang hal-hal baru dalam pernikahan melalui pengalaman, bukan teori. Kebayang, kan, betapa banyaknya intervensi jika tinggal satu atap bersama orangtua, apalagi terhadap pasangan yang baru menikah–yang dianggap belum tahu apa-apa soal kehidupan berkeluarga.
Sebelum menikah, kami berdua adalah anak kos-kosan. Saya memang berasal dari luar pulau sehingga sudah biasa tinggal nomaden di berbagai tempat. Sementara suami, meskipun tempat kelahirannya tidak begitu jauh, lebih memilih untuk ngekos, demi alasan kepraktisan saja. Setelah menikah, lebih mudah bagi kami untuk bergabung dalam satu rumah. Tepatnya sih satu ruangan (kamar kos khusus pasutri) karena ternyata kami tidak sempat mencari rumah kontrakan gara-gara sibuk dengan persiapan pernikahan.
Bagi kami, masa-masa tersebut begitu menyenangkan. Namanya saja baru menikah. Meskipun sempit, semuanya jadi terasa indah. Kabar baiknya, kami tidak memiliki banyak tempat untuk bersembunyi. Terutama jika sedang ada konflik. Lha mau kemana lagi, wong cuma satu kamar begitu. Jadi, paling-paling kalau bertengkar, yang satu pura-pura tidur, yang lain duduk agak jauh di ujung kasur hahaha.
Semakin lama, kebutuhan untuk memiliki rumah semakin besar. Barang-barang bertambah banyak dan kami membutuhkan space khusus untuk memasak. Tentu hal ini tidak bisa direalisasikan bila hanya ada satu kamar. Karena itu, kami pun mulai mencari rumah kontrakan yang sekiranya cocok dan sesuai. Tidak mudah untuk menemukan yang sesuai dengan kriteria kami.
Berikut beberapa pertimbangan kami ketika memilih rumah kontrakan.
Konstruksi Rumah
Pengennya sih kami memiliki rumah yang bagus dan indah dengan budget yang rendah. Tapi, itu kan hampir mustahil, ya. Ada barang, tentu ada harga. Karena itu, kami nggak mau terlalu mengada-ada. Yang penting adalah rumah itu nggak terlalu “lama” dan kumuh. Meskipun dinding atau lantainya agak kotor sedikit, jika dibersihkan tentu akan kinclong lagi. Konstruksi juga berkaitan dengan apakah rumah itu pengap, sumpek, dan memiliki langit-langit yang pendek. Pernah lho, kami menemukan rumah seperti itu. Luas sih. Tapi karena langit-langitnya rendah, jadinya sumuk dan pengap. Udah deh, nggak masuk kriteria. Keberadaan jendela pun berpengaruh. Kami ingin di setiap kamar ada jendela sehingga sirkulasi udara pun lancar. Kemudian, situasi dalam rumah harus bikin sreg. Misalnya, kami pernah menemukan rumah dimana sumurnya ada di dalam rumah dan tertutup. Saya agak nggak sreg dengan keadaan itu. Alhasil, meskipun budgetnya cocok, kami nggak jadi ambil rumah seperti itu.
Lingkungan
Bagaimanapun, kami akan tinggal di rumah itu selama setahun (sesuai perjanjian kontrak). Setahun itu waktu yang cukup lama, lho. Apalagi saya dalam keadaan hamil. Kami mencoba mencari tempat tinggal yang kondusif untuk adek bayi kelak. Rumah yang berada di kawasan padat jadi pilihan belakangan. Di kawasan sepi juga nggak masuk hitungan. Kriteria selanjutnya adalah tetangga-tetangganya. Apakah mereka terkesan cuek atau ramah? Apakah ada hal-hal yang mengganggu, misalnya ada kandang binatang di sekitar rumah? Ini pernah kami temukan. Samping rumah yang akan dikontrak ternyata digunakan oleh penduduk sebagai tempat kandang ayam yang cukup banyak. Selain bau yang mengganggu, tentu banyak bakteri yang akan beterbangan gara-gara ini.
Akses
Sekali lagi, pertimbangannya adalah karena saya sedang hamil. Kami mencoba mencari rumah dengan akses yang cukup mudah ke kota supaya nanti bisa lebih gampang jika ada apa-apa. Kami pernah ditunjukkan rumah yang terletak di jalanan kampung dimana mobil tidak bisa masuk. Bukannya tidak mau hidup di kampung ya, tapi yang penting aksesnya lancar dan mudah.
Privasi
Privasi itu perlu bagi setiap keluarga. Bukan berarti kami lebih suka menutup diri dari pergaulan sosial. Setidaknya, ada privasi yang bisa kami dapatkan, baik dari lingkungan maupun pemilik rumah itu sendiri. Kami menghindari rumah kontrakan yang hanya berbatasan pintu dengan rumah induk.
Kepastian Hak Milik Rumah
Pernah ada teman yang ngontrak, tetapi akhirnya bermasalah karena rumah tersebut ternyata bukan milik sendiri si empunya. Jadi, yang dikejar-kejar justru si pengontrak. Ini tentu tidak membuat nyaman. Karena itu, kami memastikan jika kami telah membayar kewajiban kepada orang yang tepat dan tidak ada pihak lain yang tersinggung atau haknya diabaikan.
Harga
Ini tentu pertimbangan penting juga. Sebelumnya, kami menetapkan minimal dan maksimal harga rumah kontrak yang bisa kami bayar. Jika ada yang bikin sreg, tetapi di atas harga maksimal, tentu mikir-mikir juga. Meskipun godaan untuk mengambilnya sangat besar. Tapi, sekali lagi, kami harus mengenyampingkan keinginan dan mengutamakan kebutuhan.
Nah, cukup banyak juga ternyata pertimbangannya. Makanya, suami sempat merasa kesulitan mencari rumah kontrakan yang sesuai dengan saya yang terlalu picky. Kalau dia sih sepertinya tidak terlalu banyak nuntut harus begini atau begitu. Yang penting layak untuk ditinggali.
Karena kami berdua sama-sama bekerja, proses untuk mencari rumah ini bisa dibilang tersendat-sendat. Hanya saat libur saja, kami bisa maksimal. Ralat: dia sendiri yang mencari karena saya cepat merasa capek. Bukannya menolong malah merepotkan.
Strateginya, setelah menemukan beberapa alternatif rumah yang sesuai, dia akan membawa foto dan menceritakan rumah itu sesuai persepsinya. Saya mendengarkan dan memilih mana yang harus kami lihat ulang. Setelah kami berdua melihatnya, barulah kami berdiskusi mengenai baik buruknya. Proses ini mungkin sekitar 1 bulan hingga akhirnya kami menemukan sebuah rumah yang tidak terlalu menarik (awalnya), tetapi beberapa kriteria sudah ada di rumah tersebut.
Saya jatuh hati sejak awal pada rumah ini. Meskipun proses untuk menemui pemiliknya dan akhirnya deal cukup lama. Kami harus ke sana kemari untuk memastikan beberapa hal. Namun, hasilnya tidak mengecewakan. Tidak semua yang kami inginkan ada di rumah itu, tetapi kami senang bisa mendapatkannya.
Sebelum pindah, kami beres-beres dulu selama beberapa waktu. Ini juga dibantu oleh para tetangga. Menyenangkan sekali memiliki tetangga yang peduli dan tidak cuek. Awalnya sih rumah ini terlihat biasa saja. Ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu ruang tengah. Kamar mandi dan dapur terletak di luar. Tidak terlalu sempurna. Namun, kami melihat ada masa depan di sana. Beberapa hal memang perlu diperbaiki. Misalnya saluran air, pintu belakang, dan sebagainya. Saya juga memaksa untuk mengecat dinding terlebih dahulu sebelum pindah supaya terlihat cukup bersih. Hal ini dikerjakan sendiri oleh suami tanpa bantuan orang lain.
Selanjutnya kami pun pindah. Perbaikan lainnya menyusul. Ada beberapa masalah yang harus diselesaikan, termasuk listrik. Untungnya, suami adalah tipe serba bisa. Bahkan, memperbaiki listrik pun bisa dilakukan sendiri. *tepuk tangan*
Sekitar dua bulan kemudian, rumah kami sudah terasa sangat nyaman. Kami benar-benar senang tinggal di sana. Kegiatan tambahan yang bisa kami lakukan adalah memasak. Selama hamil , saya memang tidak terlalu doyan membeli makan di luar. Sekali lagi, saya beruntung memiliki suami yang serba bisa. Dia juga bisa memasak lho. Kadang-kadang, saat saya menemukan resep di website Nova, saya akan menceritakan padanya dan ia yang mengeksekusi resep tersebut. Hal itu sekarang dimungkinkan karena kami benar-benar memiliki dapur sendiri. Hampir setiap sore, kami bercengkrama di dapur sambil menyiapkan makan malam.
Jadi, saya perlu berterima kasih dengan keberadaan Nova yang menyediakan resep-resep ciamik itu. Dengan kehadiran Nova, kebahagiaan kami dalam rumah tangga yang baru itu semakin bertambah. Apalagi dalam merayakan NOVAVERSARY, ulang tahun Tabloid Nova yang ke-28 ini, Nova semakin terlihat lebih bermanfaat. Banyak hal yang bisa saya dapatkan dan pelajari dari Nova untuk menjadi istri yang lebih baik.
Sebentar lagi, kami memiliki seorang bayi. Tempat yang kami tempati sekarang saya kira sudah cukup kondusif untuk menyambut dia. Menurut saya, tidak perlu berbagai fasilitas mewah untuk membuat sebuah rumah nyaman ditinggali. Yang penting ada cinta di sana. Ada ketentraman yang diciptakan oleh para penghuninya. Kami berusaha untuk melakukan itu. Meskipun ada satu dua yang kurang, kami berusaha untuk tetap mensyukurinya. Hal-hal kecil, yang bisa kami penuhi, kami lakukan satu-persatu. Nggak perlu terlalu ngoyo, begitu kata orang Jawa. Seadanya dan secukupnya saja. Yang penting kami bahagia bisa bersama di rumah.
Tentu, di masa depan, kami ingin memiliki rumah sendiri. Hal ini kami realisasikan dengan mencari informasi KPR. Meskipun bertipe sederhana, bagi kami tidak masalah. Kami bisa menerapkan konsep rumah tumbuh di rumah kami nanti. Memang butuh dana yang tidak sedikit, tetapi kami bisa melakukannya secara perlahan.
Mendapatkan sesuatu dengan cara yang instan tentu rasanya akan biasa saja. Berbeda ketika kita berusaha dengan keras dan hasil dari jerih payah sendiri akan membuat kita lebih merasakan nikmatnya. Saat sudah didapatkan pun pasti akan lebih disyukuri. Hal kedua yang menjadi inti pelajaran adalah tidak perlu rumah besar untuk mendapatkan kebahagiaan di rumah. Menerima dan mensyukuri apa yang dimiliki saat ini pun adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Hal itu akan mendorong kita untuk menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan.