Day 122: Kepingan Cerita Jempol (1)

Senja Pukul Lima

Kuberitahu padamu, aku suka sekali menikmati suasana senja pukul lima. Cahaya yang mulai meredup digantikan oleh sinar lampu kuning. Kuberitahu padamu, pada suasana seperti itu, aku terkadang menjadi melankolis. Curhat tak berhenti.

Termasuk sore itu. Ketika hujan seharian baru saja reda, angin dingin menusuk tulang, tetapi langit cerah. Ada pelangi di sebelah timur. Pada saat itu, aku merasa sangat bahagia. Dan tanpa sadar kuceritakan betapa selama ini aku sudah lama mencintaimu.

Ekspresimu saat itu tak dapat kugambarkan. Sedikit terpana, kukira. Kuteliti bola matamu, ada riak-riak kecil yang bergejolak mendorong sudut bibirmu tertarik ke samping. Semakin lama semakin lebar.

“Hahaha, kamu lucu, Cil!” Lantas kaubuat rambutku berantakan dengan telapak tanganmu yang lebar.

“Aku serius kok,” protesku.

“Yaaa, makasih, ya. Kamu orang keberapa ratus yang bilang begitu,” sahutmu.

“Sombong!”

Tawamu meledak lagi. Kurengutkan wajahku, tetapi kamu hanya menatapku dengan geli.

Senja demi senja terus berlalu. Kita bercerita terlalu banyak. Dari timur sampai barat. Dari hal-hal sepele sampai yang dalam. Ada ikatan yang tak terlihat menyelubungi setiap percakapan kita. Aku suka.

Dan senja ini, senja yang sangat indah. Kutunggu kau di tempat biasa. Aku merasa lebih bahagia daripada sebelumnya. Kusenyumi setiap orang yang kutemui. Pesan pendekmu tadi singkat dan jelas: “Kubawakan sebatang mawar merah untukmu. Tunggu aku.”

Sejak dulu, aku memuja mawar merah. Harumnya yang lembut. Warnanya yang menyala. Kuingat kau pernah berjanji, suatu saat nanti, ketika akhirnya kau sudah tak menginginkan siapa-siapa selain aku, saat itulah kau datang dengan mawar merahku.

5 Januari 2014

 

Gadis Bermata Coklat

“Wil..! Kiwil!! Tuh idolamu. Kirim salam, nggak?” Cowok yang dipanggil Kiwil itu mendongak segera. Dibiarkannya sisa-sisa kuah bakso menggenang di mangkoknya.

Seorang gadis berparas ayu melenggang tak peduli. Raut wajahnya datar. Tidak ada tanda-tanda ia mengenal siapapun di tempat itu.

“Ayu..” panggil Kiwil lirih. Suaranya tertelan oleh rasa grogi.

“Ayuu!!” Kali ini si bego Romi yang bertindak. Suaranya menggelegar. Kiwil kaget. Ayu juga kaget. Keduanya menoleh pada Romi berbarengan.

“Ass…” Kiwil hendak memaki tetapi lirikan tajam Ayu membuatnya urung melanjutkan.

“Asssal aja kamu, Rom!! Tuh ada yang kaget lho..,” tegur Kiwil dengan dagu menunjuk gadis itu.

“Hehehe.. Hai Ayu. Apa kabar?” Sapaan basi Romi hanya disambut kerlingan tanpa makna. Gadis itu kembali melanjutkan aktivitasnya: membaca.

Ayu adalah tipe gadis pendiam yang tak banyak memiliki teman. Setiap hari kesibukannya adalah membaca buku. Di mana pun.

Namun, jangan salah. Meski dicap kutu buku dan cuek setengah mati, Ayu lumayan manis, minimal menurut Kiwil. Itulah sebabnya cowok itu tergila-gila.

“Udahh, Bro.. Samperin tuh! Malah diliatin,” goda Romi. Ini anak mulutnya minta disambelin banget, rutuk Kiwil.

“Ayo donggg.. Katanya jentelmennn.. Buktikanlah!”

Sambil menjitak kepala Romi, Kiwil bangkit dari kursinya. Gemuruh di jantung ditenangkannya dengan sekali helaan nafas. “Diem lu!” bisiknya setengah mengancam.

Romi tertawa-tawa sembari meneruskan melahap mie ayam pesanannya.

“Ayu..”

Gadis itu menatap Kiwil. Bola matanya bulat dan coklat. Ada kehangatan di dalam sana.

“Ya?”

Ia menunggu. Kiwil tersipu sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Kamu sedang baca buku apa?”

17 Oktober 2013

Day 121: Hidup Lebih Baik

1. Marry the right person. This one decision will determine 90% of your happiness or misery. (hahahahaaa..)

2. Work at something you enjoy and that’s worthy of your time and talent.

3. Give people more than they expect and do it cheerfully.

4. Become the most positive and enthusiastic person you know.

5. Be forgiving of yourself and others.

6. Be generous.

7. Have a grateful heart.

8. Persistence, persistence, persistence.

9. Discipline yourself to save money on even the most modest salary.

10. Treat everyone you meet like you want to be treated.

11. Commit yourself to constant improvement.

12. Commit yourself to quality.

13. Understand that happiness is not based on possessions, power or prestige, but on relationship with people you love and respect.

14. Be loyal.

15. Be honest.

16. Be a self-starter.

17. Be decisive even it it means you’ll sometimes be wrong.

18. Stop blaming others. Take responsibility for every area of your life.

19. Be bold and courageous. When you look back on your life, you’ll regret the things you didn’t do more than the ones you did.

20. Take good care of those you love.

21. Don’t do anything that wouldn’t make your Mom proud.

(H. Jackson Brown Jr., a writer)

Day 121: Rabbit Hole, Merayakan Kehilangan di dalam Semesta Paralel

Berapa gelintir dari kita yang ingin mengubah peristiwa tertentu dalam hidup ini? Sebagian besar akan berkilah sambil memendam rasa sendu di dalam hati. Becca (Nicole Kidman) sampai pada keputusasaan yang serupa, meski juga tak terkatakan. Ia adalah seorang istri dan (dulu) seorang ibu. Putranya, Danny, tewas tertabrak mobil saat hendak mengejar anjingnya, yang sedang mengejar tupai, ke badan jalan.

Kejadian tersebut telah lewat delapan bulan yang lalu. Layaknya kehilangan sesuatu yang sangat berharga, Becca begitu depresi. Hal itu berdampak pada hubungannya dengan Howie, suaminya. Kadang-kadang mereka bertengkar demi hal yang sepele, meski Becca sangat cerdas menyembunyikan emosinya yang berantakan.

Tekanan berlanjut. Tetangga mengundang mereka makan malam tapi tak pernah dihiraukan. Mereka justru sibuk membuat alasan, – sampai-sampai sudah hafal dan mahir. Di tiap sudut jalan, saat mata Becca bersirobok dengan kemesraan seorang ibu kepada anaknya, ia tampak kembali terlempar dalam jurang yang dalam. Howie tidak lebih baik. Tiap malam, ia selalu memutar video yang tersisa saat putranya masih hidup. Kenangan tersebar di seluruh penjuru rumah. Danny seakan berjalan-jalan dengan santai, terutama di dalam kepala kedua orangtuanya.

Saat Izzy, adik Becca hamil, Becca tampak jelas kelimpungan. Ia membawa baju-baju Danny, untuk dipakai oleh calon keponakannya meski umur kehamilan Izzy baru beberapa minggu. Sang ibu, yang juga pernah kehilangan anaknya, Arthur, yaitu saudara Becca, berusaha memahami perilaku kedua orangtua muda yang putus asa ini, serta tidak membahas berlarut-larut saat Becca begitu keras kepala mempertanyakan ke-Mahakuasa-an Tuhan.

Selanjutnya, rekonsiliasi mulai terjadi. Becca secara kebetulan bertemu Jason, remaja tanggung yang tidak sengaja menabrak Danny. Mereka ngobrol dari hati ke hati. Entah bagaimana, keakraban terjalin. Bahkan Becca juga memberi apresiasi pada karya Danny, berupa komik berjudul Rabbit Hole. Komik ini dipadukan dengan ide dasar dari buku berjudul Semesta Paralel, yang membahas teori kemungkinan beserta kenyataan alternatif dalam hidup ini.

Singkatnya begini, ada begitu banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam hidup kita. Ada banyak “aku” dan “kamu” di luar sana. Aku bisa jadi seorang penjual asuransi, penjaga perpustakaan, atau sipir penjara. Demikian juga kamu. Yang kita alami saat ini hanya salah satu versi dari sekian banyak kemungkinan. Versi kesedihan bagi Becca.

Kemungkinan atas teori tersebut sedikit menenangkan Becca. Ia mendapat pencerahan dan jalan keluar, meski tentu saja, situasi tidak serta-merta berubah. Keputusannya memaafkan Jason bukan hal yang buruk. Demikian juga niat mereka menjual rumah bertanda telapak tangan Danny di setiap gagang pintu. Ia dan Howie membuka diri terhadap tetangga, berpura-pura menikmati kebersamaan yang hangat, sementara dalam hati mereka, tetap berharap bocah empat tahun itu muncul tiba-tiba.

Cerita ini ditutup dengan sederhana. Becca dan Howie, duduk berpegangan tangan sambil memandang jauh. Rasa sedih belum hilang, tapi kini tampak tidak terlalu buruk. Terimakasih untuk film yang tidak terburu-buru memotong proses perasaan yang manusiawi. Pada akhirnya, menerima kehilangan sambil terus melangkah maju, adalah perayaan yang sesungguhnya. Entah Anda setuju, atau akting Nicole Kidman yang jempolan, sosok Becca tampak begitu damai dan lega di akhir film berdurasi satu setengah jam ini. Layak ditonton!

Day 121: Surat Cinta di Hari Rabu

“aku berdoa agar aku selalu bisa memaafkan…
aku pasti akan gagal.
tapi aku berdoa semoga kau takkan pernah menyerah menghadapiku,
meskipun aku akan terus gagal.
lebih dari apapun, aku berdoa bahwa aku selalu pantas
mendampingimu.
salam sayang,
Malcolm.”

ini surat yg saya temukan malam ini di balik sebuah buku warna
merah. sebuah perangko airmail bercap Woodstock menempel
di sampulnya. dan heiii, ini salah satu
‘the new york times bestseller’ haha..

you guys, yg biasanya nyambangin toko buku dan
menyempatkan lirik2 bentar ke rak novel (-atau malah nyolong2 baca?hehe), pasti pernah liat buku unik berjudul The Wednesday Letters .
terus terang, saya sempat ngiler juga krn harganya lumayan mahal,
dan sampai detik ini saya belum berhasil memilikinya. cool! 😦

adapun yg saya baca barusan dlm 2 jam lebih ini
(wow! 332 halaman dlm 2 jam. saya sendiri heran. maksudnya, saya memang pembaca buku yg lumayan cepat, tapi ini rekor baru..)
adalah milik orang lain,
yg ternyata adalah milik yg lain juga.
intinya, ini adalah hasil peminjaman kuadrat.
tp itu kan nggak masalah..:D

Jason F. Wright dalam buku ini mengisahkan 3 orang kakak beradik
(Matthew, Malcolm, dan Samanta)
yg tiba2 di suatu malam yg dingin,
masing2 ribuan kilometer dari rumah mereka di Woodstock,
mendengar kabar bahwa kedua orangtua tersayang
telah meninggal dgn damai : hampir secara bersamaan.
sang ibu krn sakit jantungnya, diikuti oleh suaminya yg mengidap kanker otak.
di ranjang kamar utama rumah itu, mereka ditemukan sedang berpelukan
tampak seperti sedang tidur dgn senyum penuh damai

satu2nya benda paling menghibur adl kumpulan entah
ribuan surat di sebuah kotak.
ketika dibuka, ternyata surat2 itu berasal dari Jack Cooper, sang ayah,
untuk Laurel, istrinya.
isinya : mulai dari yg pribadi sampai yg sangat ringan.

di salah satu surat, terungkap fakta bahwa Malcolm
adalah hasil perkosaan, yg sama sekali tak diduga oleh
Jack hingga Malcolm berusia setahun.
fakta ini menghancurkan Matt, Sam, terutama Malcolm secara psikologis.
apalagi setelah mengetahui bahwa pelakunya adalah seorang pastor,
yg dulunya mantan bandit,
yg juga datang hari itu di pemakaman Jack dan Laurel..
tapi cara Jack dan Laurel menyelesaikan problem itu di masa lalu
: yaitu memaafkan… memberi insight pada ketiga Cooper
untuk melakukan hal yg sama kepada sang pastor.
ini adalah bagian yg sangat jawara di buku ini.

inilah kutipan surat pertama Jack untuk Laurel
(ketika mereka baru saja menikah) :

Teruntuk Ny. Cooper,
percayakah kau bahwa akhirnya kita menikah juga?
kita sudah menikah!
betapa indahnya hari ini.
aku sudah berjanji hari ini di gereja dan aku akan berjanji lagi padamu malam ini.
mulai sekarang, aku akan menulis surat padamu setiap minggu..
terima kasih karena menungguku. terimakasih karena telah membuatku menunggu.
aku berjanji akan selalu mendampingimu. tak peduli apa pun yg terjadi. kita akan selalu bersama. tanpa rahasia. tanpa kejutan. dan aku akan selalu setia kepadamu dalam segala hal..”

a). bbrp dari surat2 itu manis sekali…bbrp lucu, dan mengharukan. aneh juga sih. di salah satu rabu, Jack sedang duduk menulis suratnya sambil memandangi Laurel menonton tv…dan..Anda tahu.. jarak mereka hanya bbrp meter. ya ampunnnn…sooo…

b) Jack, menepati janjinya menemani Laurel hingga akhir. bahkan juga ketika badai melanda keluarga itu. Jack tetap bertahan dan tetap menulis surat-hari-rabunya. meski isinya hanya bbrp hal yg sangat standar. hmm..

c) surat2 itu berbicara secara implisit dan eksplisit ttg teladan. Jack dan Laurel meninggalkan teladan yg sangat tepat untuk Mat, Sam, dan Malcolm, anak2 mereka. yaitu teladan untuk memaknai cinta sejati – cinta yg sampai akhir; cinta yg tak berhenti di tengah jalan; cinta yg ‘hingga maut memisahkan kita’..

kira2 Anda sudah berpikir untuk melakukan sesuatu sekarang?

Day 121: Yang Tak Berdiri Sendirian

Judul : Outliers

Penulis : Malcolm Gladwell

Penerbit : Gramedia, 2010

Tebal : 323

Buku ini diawali dengan kisah orang-orang Roseto Valfortore. Daerah Roseto terletak seratus mil di sebelah tenggara Roma. Januari 1882, sebelas orang penduduk Roseto berlayar menuju New York. Belasan tahun kemudian, jumlah imigran Italia yang meninggalkan desa mereka mencapai ribuan orang. Mereka membeli tanah di dekat Bangor, Pennsylvania dan membangun perumahan batu bertingkat dua. Untuk menghormati asal mereka, tempat itu juga dinamai Roseto.

Suatu hari, setelah serangkaian penelitian, seorang dokter bernama Stewart Wolf menemukan sebuah fakta mengejutkan. Di Roseto, tidak ada orang di bawah usia 55 tahun yang meninggal karena serangan jantung atau menunjukkan tanda-tanda penyakit jantung. Tidak ada kasus bunuh diri, tidak ada penyalahgunaan alkohol, dan sangat sedikit kejahatan. Orang-orang Roseto meninggal karena usianya yang uzur. Roseto adalahoutlier karena ia adalah tempat di luar pengalaman manusia yang normal, dimana aturan normal tidak ditemukan di tempat itu.

TIDAK BANGKIT DARI NOL

Apakah pertanyaan yang selalu kita ajukan kepada orang-orang sukses. Kita selalu ingin tahu kepribadian mereka, gaya hidup mereka, dan bakat khusus yang mereka dapatkan sejak lahir. Lantas, kita berasumsi bahwa akhirnya kualitas-kualitas tersebut mampu menjelaskan mengapa mereka berhasil mencapai puncak keberhasilan. Dalam berbagai otobiografi orang-orang sukses, benang merahnya pun sama: pahlawan dilahirkan dalam kehidupan yang sederhana dan melalui kegigihan serta bakatnya, ia mampu meraih kesuksesan.

Namun, Gladwell mencoba mengubah pandangan tersebut. Menurutnya, orang-orang tidak bangkit dari nol. Kita berutang sesuatu kepada orangtua dan dukungan orang lain. Orang-orang yang berhasil tampaknya berdiri sendirian, padahal, tanpa kecuali, mereka adalah penerima berbagai keuntungan yang tersembunyi, kesempatan yang luar biasa, dan warisan kebudayaan yang membuat mereka bisa belajar dan bekerja keras serta menghadapi dunia ini dengan cara yang tidak bisa dilakukan orang lain.

Lihatlah pohon ek. Ia menjadi pohon yang tertinggi di hutan bukan hanya karena ia berasal dari biji pohon yang paling gigih. Tetapi juga karena tidak ada pepohonan lain yang menghalangi sinar surya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dewasa. Ia memiliki kesempatan untuk tumbuh.

SEPULUH RIBU JAM

Kemudian, tanpa menyepelekan peranan individu, Gladwell pun memaparkan hasil penelitian tentang jumlah minimum latihan untuk memperoleh keahlian dalam sebuah bidang. Penelitian yang mencakup seluruh profesi seperti komponis, pemain bola basket, penulis novel fiksi, pianis, penjahat kelas kakap, membutuhkan waktu sepuluh ribu jam latihan untuk menjadi seorang ahli. Mereka yang bisa diamati misalnya The Beatles dan Bill Gates. Sebelum The Beatles meraih kesuksesan pada 1964 – ketika mereka mengeluarkan lagu-lagu hits yang mengubah wajah musik pop – mereka telah naik panggung sebanyak 1.200 kali, dengan berjam-jam pertunjukkan. Sementara Bill Gates, memang jenius. Tetapi ia juga melewatkan waktu dini hari hingga menjelang pagi mengutak-atik sebuah komputer selama bertahun-tahun.

Namun, sekali lagi Gladwell mengatakan bahwa meskipun orang-orang hebat ini memiliki bakat dan berusaha keras, mereka juga memperoleh berbagai kesempatan istimewa yang unik.

***

Kembali kepada penduduk Roseto. Hal yang mulai disadari Wolf adalah bahwa rahasia kesehatan penduduknya bukan terletak pada pola makan atau olahraga atau gen atau lokasi. Ia melihat warga Roseto saling berkunjung satu sama lain, berhenti untuk mengobrol di jalanan, dan memasak untuk tetangganya di halaman belakang. Mereka menghadiri misa tiap hari Minggu. Mereka memiliki etos egaliter. Mereka menciptakan struktur sosial yang mampu melindungi generasi selanjutnya dari tekanan dunia modern.

Yang mau disampaikan Gladwell selain isu kesehatan penduduk Roseto adalah, komunitas selalu berpengaruh pada tingkat kesuksesan kita. Ada faktor dari luar individu yang turut membangun keberhasilan seseorang. Nilai dari dunia yang kita diami saat ini dan orang-orang di sekitar kita memiliki efek yang besar terhadap siapa diri kita. Jadi tidak terlalu berlebihan seandainya ingin mengatakan bahwa setiap pemenang tidak berdiri sendirian*.

Day 117: Mulai Menulis Lagi

Yah, dan mungkin ada yang pernah merasakan terjebak dalam waktu-waktu yang kosong. Kalau dilihat kembali, seperti jeda. Nggak ada apa-apa di antaranya. Rencana memang jalan terus. Tapi, hasilnya tenggelam. Atau malah nggak melakukan apa-apa. Kosong.

Saya selalu menganggap bahwa hidup ini punya siklus. Kalau dulu sih, saya pernah punya buku yang bisa ngitung siklus dimana seseorang sangat bersemangat, lalu mulai lemah, loyo, samasekali malas, dan bangkit kembali. Aduh, lupa judulnya apa. Yang jelas, dalam buku itu kita ditunjukkan semacam grafik. Dihitung mulai tanggal lahir. Semacam berbau ilmiah.

Sekarang, saya jadi terbiasa menerima keadaan. Bahkan sering juga mencatat, tanggal-tanggal berapa saja semangat mulai nyala. Semacam reborn. Tau, kan? Ketika kita ingin mengerjakan segalanya tanpa lelah. Nah, buat saya itu waktu untuk menyelesaikan segala sesuatu, termasuk posting di blog (yang udah lama tertunda).

Mungkin sih sebenarnya itu juga dipengaruhi oleh kemampuan tubuh kita. Tubuh butuh istirahat. Jadi, pada masa-masa tertentu, diajak kerjasama untuk menulis satu kalimat aja nggak mampu. Dan itu terjadi beberapa hari, bukan hanya satu dua jam saja. Hehe.

Berikut beberapa hal yang saya kerjakan saat berada di bawah garis alias area merah.

Ngecek Agenda

Rasa nggak mood itu datang tanpa diduga, termasuk di tengah-tengah pekerjaan tertentu. Kalau saya, udah angkat tangan aja deh. Nggak bisa dipaksa. Kalau dipaksa, yang ada justru buang waktu karena cuma bisa melototin layar tanpa bisa merangkai kalimat apapun. Kalaupun bisa, hasilnya jelek. Jadi, saya coba lihat agenda mana saja yang bisa di-pending, di-cancel, atau dinegosiasi ulang (minta waktu perpanjangan). Bukan nggak profesional, cuma realistis aja.

Pada beberapa kasus, ada juga kok yang paham hal ini sehingga masih memungkinkan untuk dipertimbangkan. Pada saat ini, jangan kebanyakan mikir, aduh sayang banget. Terus, angka-angka rupiah muter di kepala. Ingat, nama kita justru dipertaruhkan kalau misalnya proyek tetap diambil tetapi selesai asal-asalan karena tubuh nggak fit. So, relakan dan ikhlaskan setelah melihat dan menghitung-hitung kemampuan. Kalau kemungkinan besar nggak bisa dikejar ya sudah. Masih ada lain waktu. Lebih baik jujur daripada membiarkan klien merasa semua baik-baik saja. Siapa tahu, mereka punya alternatif lain. Keputusan jauh-jauh hari lebih baik alias nggak mendadak. Tapii… ini jangan keseringan ya. Nanti malah membuat orang lain jadi ilfeel. Berdasarkan pengalaman, merelakan sebuah proyek untuk ditukar dengan kewarasan pikiran itu berharga kok. Nggak bakal rugi.

Piknik

Kata ini terasa jadul banget ya. Tapi, benar. Piknik itu penting. Saat semua terasa salah (cieh), kegiatan yang nggak pernah salah adalah jalan-jalan, berwisata, liat yang bagus-bagus (nggak harus beli), ngobrol dgn orang tersayang, dan sebagainya. Ini akan menjadi obat alami. Biarkan diri sendiri bebas dari jeratan deadline harus menyetor tulisan berapa hari ini, dan sebagainya. Let it flow. Rasakan. Dan Nikmati. Hihihi. Kalau piknik versi saya sih, paling-paling ya ke alam bebas (yang mana sekarang udah semakin kurang tempatnya huks :sad). Bisa juga di tempat tidur alias tiduran nggak kenal waktu. Banyak lah aktivitas yang bisa dilakuin. Mulai dari baca, nonton, makan (makan? di tempat tidur?), atau sekadar tidur tak kenal lelah. HEHE. -Maaf, kalau ada yang nggak setuju soal definisi piknik yang ini :p Intinya ya, mengendorkan segala sesuatunya. Take a break.

Dua hal ini selalu menjadi andalan saya. Sejauh ini masih bisalah diterapkan. Meskipun range waktu yang dibutuhkan nggak tentu. Ada yang cepat. Ada yang lambat. Ada yang keliatan cepat, eh jatuh lagi. Jadi ya, berusaha ngikutin kemana perginya saja. Nggak maksa diri sendiri untuk harus begini. Semacam kelemahan sih karena nggak konsisten. Tapi semoga kelemahan itu ditutupi oleh hasil yang didapatkan ketika semangat udah kembali.

Mari memulai kembali.