Senja Pukul Lima
Kuberitahu padamu, aku suka sekali menikmati suasana senja pukul lima. Cahaya yang mulai meredup digantikan oleh sinar lampu kuning. Kuberitahu padamu, pada suasana seperti itu, aku terkadang menjadi melankolis. Curhat tak berhenti.
Termasuk sore itu. Ketika hujan seharian baru saja reda, angin dingin menusuk tulang, tetapi langit cerah. Ada pelangi di sebelah timur. Pada saat itu, aku merasa sangat bahagia. Dan tanpa sadar kuceritakan betapa selama ini aku sudah lama mencintaimu.
Ekspresimu saat itu tak dapat kugambarkan. Sedikit terpana, kukira. Kuteliti bola matamu, ada riak-riak kecil yang bergejolak mendorong sudut bibirmu tertarik ke samping. Semakin lama semakin lebar.
“Hahaha, kamu lucu, Cil!” Lantas kaubuat rambutku berantakan dengan telapak tanganmu yang lebar.
“Aku serius kok,” protesku.
“Yaaa, makasih, ya. Kamu orang keberapa ratus yang bilang begitu,” sahutmu.
“Sombong!”
Tawamu meledak lagi. Kurengutkan wajahku, tetapi kamu hanya menatapku dengan geli.
Senja demi senja terus berlalu. Kita bercerita terlalu banyak. Dari timur sampai barat. Dari hal-hal sepele sampai yang dalam. Ada ikatan yang tak terlihat menyelubungi setiap percakapan kita. Aku suka.
Dan senja ini, senja yang sangat indah. Kutunggu kau di tempat biasa. Aku merasa lebih bahagia daripada sebelumnya. Kusenyumi setiap orang yang kutemui. Pesan pendekmu tadi singkat dan jelas: “Kubawakan sebatang mawar merah untukmu. Tunggu aku.”
Sejak dulu, aku memuja mawar merah. Harumnya yang lembut. Warnanya yang menyala. Kuingat kau pernah berjanji, suatu saat nanti, ketika akhirnya kau sudah tak menginginkan siapa-siapa selain aku, saat itulah kau datang dengan mawar merahku.
5 Januari 2014
Gadis Bermata Coklat
“Wil..! Kiwil!! Tuh idolamu. Kirim salam, nggak?” Cowok yang dipanggil Kiwil itu mendongak segera. Dibiarkannya sisa-sisa kuah bakso menggenang di mangkoknya.
Seorang gadis berparas ayu melenggang tak peduli. Raut wajahnya datar. Tidak ada tanda-tanda ia mengenal siapapun di tempat itu.
“Ayu..” panggil Kiwil lirih. Suaranya tertelan oleh rasa grogi.
“Ayuu!!” Kali ini si bego Romi yang bertindak. Suaranya menggelegar. Kiwil kaget. Ayu juga kaget. Keduanya menoleh pada Romi berbarengan.
“Ass…” Kiwil hendak memaki tetapi lirikan tajam Ayu membuatnya urung melanjutkan.
“Asssal aja kamu, Rom!! Tuh ada yang kaget lho..,” tegur Kiwil dengan dagu menunjuk gadis itu.
“Hehehe.. Hai Ayu. Apa kabar?” Sapaan basi Romi hanya disambut kerlingan tanpa makna. Gadis itu kembali melanjutkan aktivitasnya: membaca.
Ayu adalah tipe gadis pendiam yang tak banyak memiliki teman. Setiap hari kesibukannya adalah membaca buku. Di mana pun.
Namun, jangan salah. Meski dicap kutu buku dan cuek setengah mati, Ayu lumayan manis, minimal menurut Kiwil. Itulah sebabnya cowok itu tergila-gila.
“Udahh, Bro.. Samperin tuh! Malah diliatin,” goda Romi. Ini anak mulutnya minta disambelin banget, rutuk Kiwil.
“Ayo donggg.. Katanya jentelmennn.. Buktikanlah!”
Sambil menjitak kepala Romi, Kiwil bangkit dari kursinya. Gemuruh di jantung ditenangkannya dengan sekali helaan nafas. “Diem lu!” bisiknya setengah mengancam.
Romi tertawa-tawa sembari meneruskan melahap mie ayam pesanannya.
“Ayu..”
Gadis itu menatap Kiwil. Bola matanya bulat dan coklat. Ada kehangatan di dalam sana.
“Ya?”
Ia menunggu. Kiwil tersipu sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Kamu sedang baca buku apa?”
17 Oktober 2013