Mengambil kesimpulan yang terburu-buru dapat menciptakan persepsi yang salah. Persepsi yang salah dapat menimbulkan amarah yang tidak tepat. Akibatnya berbahaya dan berdampak panjang.
Semua orang pasti pernah marah. Penyebabnya berbeda-beda. Ada orang yang marah karena diperlakukan tidak sepantasnya. Ada juga yang marah karena tidak bersedia menerima kemarahan orang lain sehingga memutuskan untuk membalas. Namun, tidak jarang pula kita jumpai orang yang moody, emosinya cepat berubah, dan amarahnya sering tersulut karena hal sepele. Orang ini blak-blakan, bersifat menyerang, dan membahayakan.
Sylvia Carolina Maria Y. M., S.Psi., M.Si. (40), dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menjelaskan, rasa marah adalah salah satu bagian emosi manusia. Selain rasa marah, ada juga rasa senang, sedih, kecewa, dan sebagainya. Secara umum, emosi seperti amarah adalah bentuk pertahanan individu. Ketika menghadapi situasi tertentu, emositersebut muncul dari dalam diri manusia sebagai respons.
Dari sudut pandang theologi, Pdt. Puji Swismanto, M.Th. (51) menjelaskan, rasa marah adalah dosa warisan yang telah ada dalam diri manusia semenjak dilahirkan. Bahkan dalam Alkitab, amarah telah muncul pada generasi kedua, yaitu Kain. Kain mempersembahkan kurban bakaran, tetapi tidak diterima oleh Tuhan. Karena peristiwa itu, Kain menjadi marah lantas membunuh saudara kandungnya, Habel, padahal Habel tidak bersalah. Kisah kemarahan antarsaudara di Alkitab adalah antara Esau dan Yakub. Esau marah kepada Yakub karena adiknya telah menipu dan mengambil hak kesulungannya. Akibatnya, timbul permusuhan di antara keduanya dalam jangka waktu lama.
Salah Sasaran
Dengan alasan apa pun, tindakan Esau membunuh Habel tidak bisa diterima. Sylvia memaparkan, tindakan agresif bisa muncul dari seseorang yang sedang dikuasai emosi marah. Jika individu tersebut terbiasa spontan dan blak-blakan, rasa marahnya bisa diekspresikan secara langsung. “Ekstremnya kalau pelaku membawa benda tajam, ia bisa membahayakan orang-orang di sekelilingnya,” kata Sylvia.
Sebuah kabar mengejutkan muncul dari China pertengahan tahun ini. Seorang bocah kecil dianiaya sang ibu karena menyusu hingga melukai puting ibunya. Normalnya, ibu memiliki naluri melindungi anaknya. Pada kasus ini, bayi yang lemah itu justru mendapat siksaan sehingga mengakibatkan luka-luka di sekujur tubuhnya. Kasus serupa banyak muncul beberapa tahun belakangan.
“Ibu itu pasti sudah tidak mampu mengendalikan emosinya. Kemungkinan si ibu memiliki masalah, gangguan kejiwaan atau stres sehingga anak menjadi pelampiasan. Ada rasa jengkel terhadap hal lain yang belum diselesaikan. Jadi, ketika ia merasa sakit secara fisik, amarahnya meluap. Anak menjadi sasaran karena dekat, bisa dijangkau, dan lemah,” ujar Sylvia.
Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan kemarahan. Menurut Sylvia, hal itu dipengaruhi oleh kecenderungan kepribadian seseorang. Orang yang pendiam cenderung memendam kemarahan. Sebaliknya, orang yang spontan akan cenderung agresif dan menyerang. Dalam buku Overcoming Emotions That Destroy, disebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi seseorang dalam mengeskpresikan kemarahan adalah kepribadian, keadaan diri yang sekarang, budaya, gender, usia, dan pengalaman masa lampau.
Kedua bentuk ekspresi kemarahan tersebut sama saja. Tidak ada yang lebih baik. Bedanya, orang yang agresif langsung kelihatan jika sedang marah. Lawan bicara bisa menangkap ekspresinya sehingga dapat menentukan sikap yang tepat untuk menghadapinya. Namun, orang yang memendam kemarahan tidak bisa dideteksi dengan mudah. Tiba-tiba saja hubungan menjadi dingin. Ketika tidak setuju dengan suatu hal, mereka tidak mengungkapkannya secara eksplisit. Akibatnya, masalah tidak bisa segera diselesaikan. Meskipun ekspresinya berbeda-beda, amarah selalu berpotensi untuk menghancurkan, baik relasi maupun reputasi.
Dalam Perjanjian Baru, terkenal kisah yang menceritakan kemarahan Yesus di Bait Suci. Ia marah kepada orang-orang yang menyalahgunakan fungsi gereja. “Semestinya gereja adalah tempat berdoa, tetapi dipakai untuk berjualan. Lantas Yesus menjungkirbalikkan meja dan kursi yang dipakai oleh para pedagang tersebut,” ujar Pudji. Sebelumnya, Yesus dikenal lembut, menyukai anak-anak, dan penuh belas kasihan.
Menurut Pudji, apa yang dilakukan Yesus disebut marah yang kudus karena Ia memiliki alasan yang tepat. Allah juga pernah murka ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Amarah tersebut diekspresikan dengan mengusir manusia keluar dari Taman Eden. Pada zaman Nuh, Allah menghapus kehidupan di bumi dengan air bah, kecuali makhluk hidup dalam bahtera. Kemarahan itu juga terjadi ketika Allah melihat bangsa Israel menyimpang dari jalan yang benar. Allah mendisiplin untuk mendatangkan kebaikan kepada manusia.
Sementara itu, kemarahan manusia sering bersifat perseptif. Sylvia menjelaskan bahwa alasan seseorang marah adalah ia mempersepsi bahwa dirinya terancam, baik ego maupun fisik. “Ketika ego terancam, misalnya ada orang lain yang meremehkan saya, saya akan menjadi marah. Orang ini telah berani dengan saya. Reaksi seperti itu telah terbentuk sejak nenek moyang kita ketika mereka menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan hidup.”
Merusak Relasi
Amarah adalah emosi normal manusia. Oleh karena itu, rasa marah tidak selamanya bersifat negatif. Selain alasan yang tepat, marah yang baik adalah marah yang proporsional dengan derajat yang pas. Rasa marah yang tidak tepat timbul dari prasangka tanpa mengkonfirmasi kebenarannya. Contoh ekstremnya, ketika seorang preman menentukan siapa calon korbannya. Bagi mereka, hanya ada dua jenis manusia, yaitu korban atau bukan korban. Jika orang yang diamati tersebut memberi sinyal sebagai calon korban, mereka lebih berani mendekati. Hal yang sama juga dialami oleh orang yang marah tanpa kendali. Mereka memproses informasi dengan terburu-buru sehingga persepsi yang timbul memicu kemarahan, padahal persepsi tidak selamanya benar.
Selain merusak relasi dan reputasi, amarah juga berpotensi mengganggu kesehatan. “Ini ada kaitannya dengan neurofisiologis atau sistem saraf. Ketika marah, kita merangsang munculnya hormon adrenalin. Pada kondisi tertentu, hormon ini sangat membantu. Misalnya, bisa mempertahankan diri ketika hendak dijambret. Namun, adrenalin membuat denyut jantung dan peredaran darah lebih cepat. Orang berada dalam kondisi waspada. Marah yang berlangsung terus-menerus akan memicu timbulnya tekanan darah tinggi atau serangan jantung,” ungkap Sylvia.
Pudji mengatakan bahwa marah untuk mendatangkan kebaikan itu boleh saja. Syaratnya, kemarahan tidak disimpan atau berlarut-larut. Alkitab menyebutkan, batas kemarahan adalah sampai matahari terbenam. “Redakan amarahmu setelah terjadi perubahan yang lebih baik. Sama seperti Yesus, setelah marah harus kembali rendah hati, murah hati, dan memaafkan. Yesus merangkul dengan lemah lembut sehingga terjadi pemulihan,” ujar Pudji.
“Amarah yang tidak diselesaikan akan berdampak buruk bagi keturunan kita. Contohnya, Herodes membunuh bayi-bayi yang tidak berdosa ketika Yesus lahir. Jika ditelusuri secara historis, Raja Herodes adalah orang Edom, yaitu keturunan Esau. Kemarahannya ditumpahkan dengan menghabisi anak-anak Rahel atau anak Yakub. Ternyata, perseteruan keduanya pada masa lampau masih menyisakan kebencian sehingga mengakibatkan amarah yang salah sasaran,” tambah Pudji.
Spirit Kemarahan
Lantas, bagaimana cara mengendalikan emosi negatif tersebut? Menurut Sylvia, kebiasaan itu bisa dilatih. Emosi sebenarnya terkait dengan aspek kognitif, yaitu pikiran, perasaan, dan tindakan. Ketika marah, semuanya dimulai dari pikiran, setelah itu diikuti oleh perasaan dan tindakan. “Perhatikan sinyal-sinyal yang membuat emosi kita naik. Misalnya, kita tidak suka jika privasi diganggu. Sebelum benar-benar marah, cobalah untuk menarik napas panjang. Tenangkan diri sehingga kita bisa mempelajari permasalahannya lebih dalam. Jika tidak, kita bisa menyesali tindakan yang berdampak panjang,” ujarnya.
Ps. Samuel Saputra menceritakan pengalamannya menghadapi para pemarah khususnya anak-anak asrama ketika ia mendirikan Pondok Penuai pada 1996. “Sebagian besar dari mereka berasal dari disfunction family atau keluarga yang tidak berfungsi dengan baik. Mereka tidak dididik secara karakter dan etika. Ketika dikumpulkan dalam asrama, itu seru banget. Ketika ditegur atau diberi disiplin, mereka justru akan balik marah. Muka mereka terlihat tidak senang. Ada yang menantang, walaupun tahu mereka salah,” cerita pria yang akrab dipanggil Ko Sam ini.
Untuk menghadapi situasi tersebut, Ko Sam menerapkan beberapa bentuk disiplin, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Semua disiplin itu bertujuan untuk mengingatkan dan menanamkan hal yang baik dalam diri anak yang bersangkutan. Namun, ada juga anak yang benar-benar sulit ditangani. Karena tidak berhasil, anak itu pun dipulangkan ke daerah asalnya.
Menurut Ko Sam, emosi adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Namun, emosi negatif bersumber dari dua sisi, yaitu luka dalam hati dan kejadian tertentu yang bisa menjadi pemantik. “Anak yang sejak kecil ditinggal oleh ayahnya akan mengalami kepahitan. Jika ada sebuah kejadian yang mengingatkannya kepada ayahnya, emosinya akan meledak. Kalau tidak disembuhkan, akan timbul spirit of anger. Spirit ini mengikat jiwa dan emosi seseorang,” jelas Ko Sam.
Seperti Cara Yesus
Merasa marah karena tidak diperlakukan semestinya adalah reaksi yang wajar. Prinsip ini bertolak belakang dengan reaksi Yesus ketika hendak disalib. Amarah-Nya tidak timbul meskipun orang-orang tidak menghargai-Nya sebagai anak Allah. Respons-Nya tidak terduga. Ia justru mengampuni.
Persoalan yang terjadi di antara umat Kristen saat ini adalah ketidakmampuan mengolah emosi tersebut. Sasaran dan penyebab kemarahan sering buram dan tidak jelas. Namun, Yesus telah memberi teladan yang kasat mata tentang cara mengendalikan amarah. Harga diri pribadi tidak boleh menjadi alasan untuk mengumbar kemarahan apalagi hingga menyakiti dan melukai orang lain.
(Dimuat di BAHANA, September 2013)