*untuk suamiku tercinta*
Saya akui, judulnya agak kurang keren. Tampak seperti pengantar membosankan di buku-buku teks tebel yang kayaknya jarang ada yang baca. Tapi, saya merasa inilah judul yang paling cocok untuk postingan saya kali ini.
Proses yang kami lewati mulai dari ketika saya hamil hingga melahirkan terasa cepat sekali. Baru dua Juni kemarin kami melewati anniversary pertama pernikahan, tapi perubahan udah banyak banget.
Saya bersyukur diberi kepercayaan oleh Tuhan bersama suami untuk menjaga dan merawat seorang anak. Berkat orang beda-beda, dan berkat bagi kami adalah seorang anak. Jadi, kami sungguh-sungguh bahagia karena itu. Terlepas dari beragam perubahan yang terjadi dalam hidup kami setelah itu.
Melewati semua itu, ada masa-masa seolah kami nggak sanggup menjalaninya. Pokoknya, memikirkan satu hari ke depan bagaimana, rasanya berat banget. Kami berdua baru pertama kali mengalami situasi ini. Apalagi masa setelah melahirkan yang nggak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Rasanya, hidup hanya sanggup untuk satu hari. Berhasil melewati hari ini dengan selamat saja sudah bersyukur. Untuk besok ya besok aja urusannya.
Dalam situasi inilah peran suami kelihatan. Meskipun kadang-kadang saya selalu merasa “kurang dibantu”. Namanya aja orang perfeksionis yang belum tobat sempurna. Masih ada aja hal-hal yang tak sesuai dengan hati untuk dikomplain.
Atas semua komplain saya, saya akui suami sudah cukup sabar. Ia nggak berniat menandingi komplain saya dengan komplain lain yang sebenarnya bisa ia lontarkan. Biasanya ia hanya diam dan terlihat sedih. Untungnya, selain perfeksionis, saya tipe perasa banget. Melihat muka sedihnya itu saya langsung luluh dan lupa pada komplain. Malah jadi merasa bersalah…
Satu bulan lebih setelah baby W hadir, hidup kami seperti jungkir balik. Dan sungguh menenangkan ketika pasanganmu tetap kuat dan bisa berdiri bersama-sama melewati setiap tantangan. Meskipun saya tahu, jauh di dalam sana dia juga khawatir (saya tahu karena dia pernah satu dua kali menangis selama itu).
Namun, yang paling nyata adalah apa yang ia lakukan setiap hari untuk kami bertiga. Contohnya, ia bangun lebih pagi (karena saya udah ditempeli anak dan biasanya habis begadang jadi masih ngantuk) dan memasak. Ia menyiapkan semuanya supaya saya bisa makan hari itu. Pulangnya ya begitu juga. Saya masih belum berani meninggalkan baby W meskipun ia sedang tidur. Takut ada apa-apa. Mungkin perasaan ini besok-besok harus saya kurangi supaya saya bisa lebih leluasa melakukan sesuatu. Toh, baby W hari-hari ini lumayan bisa diajak kerja sama. Siang hari dia lebih banyak tidur dan bangun untuk nenen dan ganti popok.
Anyway, inilah ucapan terima kasih saya yang ngalor-ngidul ke sana ke mari. Bersyukur punya suami yang mengerti kebutuhan istrinya dan mau berkorban meskipun ia bisa aja mengelak dan santai-santai. Semoga kami bisa melewati masa ini dengan tetap sehat dan waras, jasmani dan rohani.