[Resensi Buku] Garnish – Mashdar Zainal

Anin mengabaikan larangan sang ayah yang tak suka melihatnya melukis. Ia bertekad mewarnai kanvas hidupnya.

Buni ingin membuktikan pada mamanya bahwa memasak adalah jalan hidupnya, bahwa dia punya cara sendiri untuk menjadi berarti.

Kelindan takdir membawa dua manusia yang saling tak mengenal ini dalam perjalanan hidup penuh warna.

♣♣♣

Judul: Garnish

Penulis: Mashdar Zainal

Jumlah halaman: 220

Cetakan pertama: April 2016

Penerbit: de TEENS

ISBN: 978-602-391-126-4

♣♣♣

Setelah selesai membaca novel ini, saya juga sempat membaca satu dua cerpen koran karya Mashdar Zainal. Cerpen korannya saya suka. Ya iyalah, udah masuk koran gitu, pasti cerpennya bagus. Sedangkan untuk novelnya, ada beberapa catatan dari saya sebagai seorang penikmat buku.

Novel ini dimulai dari kisah seorang lelaki bernama Buni. Buni suka memasak. Namun, ibunya tak suka dengan hobi Buni. Sebabnya? Buni bukan perempuan. Eh tapi emangnya kenapa ya? Zaman sekarang kan chef laki-laki sudah menjamur, bahkan sebagian besar chef terkenal adalah laki-laki. Namun, tren itu rupanya tak mengganggu ibu Buni. Ia tetap berkeras bahwa Buni tak cocok menjadi seorang chef.

Kata Mama, anak laki-laki tak seharusnya berada di dapur. Dapur itu urusan perempuan. Banyak sekali kegiatan yang bisa dilakukan anak laki-laki di luar sana, mereka bisa bermain sepak bola atau bermain musik, mereka bisa merakit mesin dan bahkan bercocok tanam, bukan berhadap-hadapan dengan kompor, di dapur. Hal. 6

Aduh, si Mama… Kalau saya sih senang-senang aja melihat seorang laki-laki pintar memasak. Apalagi ia adalah pasangan hidup saya. Tiap hari kan bisa makan enak. Hehehe.

Namun, meskipun ibunya terang-terangan tak setuju, Buni tak bisa menghentikan niatnya untuk serius di profesi yang dianggap khusus untuk perempuan itu. Ia bahkan berusaha untuk membuktikan kepada Mamanya bahwa ia akan berhasil, meskipun tak menggunakan ijazah Sarjana Ekonomi yang terlebih dahulu digenggamnya.

Bagian selanjutnya, kita disuguhi dengan sebuah cerita yang berbeda tapi sama. Lho, maksudnya gimana tuh? Maksudnya, kasusnya sama seperti Buni yang memiliki hobi tetapi ditentang oleh orangtua. Adalah Anin, seorang cewek yang suka melukis. Namun, hobinya tersebut tak disetujui oleh ayahnya. Meskipun sang Ayah sudah menikah lagi–karena ibu Anin telah meninggal–dan tinggal di rumah yang berbeda dengan Anin, ia tetap memantau keseharian anak perempuannya tersebut. Di sinilah Anin merasa terpenjara di rumahnya sendiri.

Selanjutnya, kita akan disuguhi dengan perjuangan kedua anak muda ini membuktikan kepada orangtua mereka bahwa jalan yang mereka tempuh itu benar. Secara bergantian, mereka bercerita dari sudut pandang mereka sendiri–menggunakan POV orang pertama. Nah, hal ini pulalah yang kemudian membuat saya menjadi bingung hahaha. Di bab yang satu, “aku” adalah Buni, sedangkan di bab selanjutnya, “aku” adalah Anin. Seringkali saya kecele karena menyangka yang berbicara adalah Anin, eh ternyata Buni. Apalagi karena nggak ada penjelasan alias keterangan mengenai siapa yang sedang bercerita.

Dengan menggunakan dua POV orang pertama bergantian ini, penulis pun kadang menceritakan sebuah peristiwa sebanyak dua kali. Bedanya tak terlalu banyak sehingga terkesan diulang saja (dari sudut yang berbeda). Jujur aja sih, ini membuat saya agak bosan sehingga saya skip membacanya.

Hal lain yang menurut saya agak mengganggu adalah perubahan karakter ayah Anin yang awalnya sangat menentang hobi melukis Anin. Nyatanya, setelah Bli Sutha menceritakan masalah Anin padanya, hati sang ayah melembut. Ia pun berbalik dan mendukung hobi Anin.

“Oke, Ayah akan bicara pada mereka. Dan mulai hari ini kau bisa melakukan apa saja yang kau inginkan, kau merdeka, tapi bukan bebas. Kau paham maksud Ayah?” Hal. 50.

Tidak ada perdebatan alot. Hanya butuh sekitar setengah halaman untuk meng-clear-kan masalah antara anak dan ayah tersebut. Hasilnya? Anin bebas melukis bahkan difasilitasi ketika hendak mengembangkan hobinya tersebut.

Berbeda banget dengan Buni, dimana sang ibu samasekali tak tergoyahkan meskipun ia sudah mati-matian meyakinkan sang ibu bahwa ia memang ingin memasak. Yang mana, menurut saya, alasan sang ibu kurang kuat dan terkesan mengada-ada. Jadi, kalau kata saya yang awam ini, ada ketidakseimbangan di antara penyelesaian dua konflik ini.

Di sisi lain, temanya menarik. Bagaimana seseorang harus mengikuti passion-nya dan mau berusaha membuktikan itu kepada orang-orang. Bagaimana pula passion tersebut bukan hanya sekadar hobi, tetapi bisa menghasilkan uang dan terutama mengembangkan diri menuju ke arah yang lebih baik.

Membaca buku ini, kita akan dibawa ke sebuah realita yang kemungkinan masih ada di zaman yang serba modern dan kreatif ini. Terutama bagi para orangtua, bisa menjadi warning supaya lebih memahami cara mendidik anak dan mengarahkannya sesuai dengan passion dan bakat yang ia punya.

Tinggalkan komentar