Day 73: [Review Buku] The Doctor

IMG_0163Judul: The Doctor

Penulis: Rahadi W. Pandoyo

Penerbit: MAZOLA

Jumlah halaman: 290

Tahun terbit: 2015

♦♦♦

IMG_0160

The Doctor adalah novel profesi kedua yang saya baca. Yang pertama adalah The Banker. Ide menulis novel sesuai profesinya menurut saya cukup brilian. Saya suka. Di sana kita menemukan dilema dan kisah hidup yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Itulah yang disajikan penulis dalam novel The Doctor. Alkisah, ada seorang dokter muda bernama Adib Farhan Muzakki. Dokter muda ini baru beberapa bulan diterima sebagai dokter yang menjaga UGD di Rumah Sakit Kiara Medika. Namanya juga dokter baru, sedikit-sedikit merasakan aroma senioritas dari dokter yang sudah lama di sana. Salah satunya Dokter Alvin, yang kental dengan logat Jawa Timur-nya. Karakter Dokter Alvin keras dan sombong.

Entah karena Adib sedang mengalami hari buruk, suatu malam, sebuah kejadian tak diinginkan terjadi. Karena Nirmalasari, istrinya mengeluh dengan keadaan perutnya yang hamil besar, Adib memutuskan untuk pulang ke rumah. Padahal, masih ada pasien yang harus ditangani. Dokter Alvin tak mudah diajak kerjasama. Akhirnya, Adib pun pulang dengan was-was. Ternyata itu berbuntut panjang. Pasien itu meninggal. Oleh pihak rumah sakit, Adib dipecat sepihak tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu.

Lalu, dimulailah fase hidup yang menyakitkan sebagai seorang pengangguran. Meskipun berijazah dokter, tidak mudah mencari pekerjaan. Ada sebuah klinik yang menerima Adib, tetapi karena pembagian yang tak seimbang, penghasilannya tak cukup. Bahkan, gaji seorang tukang parkir pun lebih besar dari pendapatan Adib sebagai dokter. Miris, kan? Entah ini berasal dari kisah nyata atau nggak, saya pikir, semua itu bisa terjadi.

Dalam perjuangan itu, Adib pun dituntut tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Istrinya ternyata mengalami sesuatu yang membuat keduanya harus berpisah. Bayangkan, dalam kondisi yang berat, berpisah dengan pasangan, mungkin inilah keadaan paling bawah dalam hidup manusia. Untungnya, ada seorang wanita, orang dari masa lalu Adib, yang selalu datang menolong bak malaikat, Mitha.

Mitha adalah wanita yang ideal dan sempurna. Ia memiliki segalanya. Mereka kenal sejak di kampus. Bahkan Adib pernah menyimpan rasa terhadap wanita ini. Lalu, mereka bertemu kembali ketika keadaan Adib sangat tak berkecukupan. Dengan bantuan Mitha, sedikit demi sedikit Adib mulai mendapatkan kepercayaan dirinya. Ia juga mulai memperbaiki hidupnya, meskipun tak lagi bekerja sebagai seorang dokter.

Namun, apakah Adib terjebak dalam situasi balas budi yang mengharuskannya untuk menjalin hubungan dengan Mitha? Atau, ia kembali untuk memperjuangkan keluarganya meskipun istrinya mengabaikannya selama beberapa waktu?

♦♦♦

IMG_0158Novel ini saya selesaikan dalam satu hari dan saya puas. Hal pertama yang saya sukai adalah kejujuran tokoh-tokohnya terutama Adib. Dokter Adib ini, yang merupakan anak seorang buruh pabrik tahu, tak bersikap seolah-olah mulia, misalnya ketika ia memilih untuk tak melamar jadi PNS karena akan ditempatkan di daerah terpencil.

Kalau asal menjadi PNS, bisa-bisa ia terlempar kembali ke puskesmas terpencil seperti yang dijalaninya saat program PTT. Kesan buruk di daerah terpencil di luar Jawa membuatnya ragu menjadi PNS. Kalau setahun dua tahun di sana sih tidak apa-apa. Tapi, bagaimana bila ia terjebak di situ bertahun-tahun, bahkan sepanjang sisa hidupnya?

Di sini, penulis tak ingin menunjukkan seorang hero yang memiliki hati seluas samudera. Adib adalah manusia biasa, yang ingin sukses dalam pekerjaannya dan hidup dengan nyaman. Saya kira, itu pilihan penulis dan tak perlu dinilai baik buruknya.

Dengan pemilihan karakter yang seperti itu, novel ini terasa hidup atau seperti kisah nyata.IMG_0165

Hal kedua yang saya sukai adalah konfliknya yang mendalam. Kita dibawa untuk merasakan perjuangan Adib, rasa hina yang ia terima, maupun rasa terima kasihnya kepada Mitha, si malaikat. Kita ikut senang ketika akhirnya ia menjalani hidup yang baik. Kita juga bersimpati terhadap tokoh-tokoh lain. Saya merasa itulah kelebihan si penulis. Ia mengatur plot sedemikian rupa sehingga emosi pembaca teraduk-aduk, kadang sedih kadang senang, kadang penuh harapan, dan kadang lega.

Hal ketiga, endingnya. Huahhh.. endingnya benar-benar menyentuh. Setelah membacanya, saya tak bisa menentukan apakah harus sedih atau senang. Saya ingin senang, tapi saya juga ingin sedih. Semuanya campur aduk.

Nah, kalau sudah begitu, rasanya saya pantas ngangkat jempol untuk novel ini. Karya Rahadi W. Pandoyo yang ini tak boleh dilewatkan.

IMG_0164

Satu komentar pada “Day 73: [Review Buku] The Doctor”

Tinggalkan komentar