[Resensi Buku] Sejak Awal Kami Tahu, Ini Tidak Akan Pernah Mudah – Sisimaya

Dua jalan bercabang dalam hutan. Dan aku-

Aku memilih yang jarang ditempuh

Dan perbedaannya besar sungguh.

“Jalan yang Tak Dipilih” – Robert Frost

Pikiranku dipenuhi dengan satu tanda tanya yang tak seorang pun bisa membantuku memberikan jawaban. Benarkah jalan dengan semak belukar yang belum pernah ditempuh itu kelak akan membawa perubahan besar dalam hidupku?

Agus dalam dilema. Kariernya sebagai auditor di kosmopolitan Jakarta sedang menanjak, namun sang kakak memintanya pulang ke Desa Manggar Wangi di Blitar. Mas Bayu membangun mimpi membuat pabrik gula jawa. Dan Agus diminta untuk membantu mewujudkan mimpi itu. Banyak yang Agus pertaruhkan; kenyamanan pekerjaan, cinta sang kekasih. Maka, jalan mana yang akan ia pilih?

♣♣♣

Judul: Sejak Awal Kami Tahu, Ini Tidak Akan Pernah Mudah

Penulis: Sisimaya

Penerbit: Diva Press

Cetakan pertama: 2016

Jumlah halaman: 268

ISBN: 978-602-391-080-9

♣♣♣

Tak salah jika saya mengatakan bahwa dari sekian buku yang pernah saya baca, bersama novel ini saya mengalami salah satu proses pembacaan yang paling memuaskan.

Saya akan menjelaskannya dalam beberapa poin.

Sebuah novel akan memikat sejak awal dari judulnya. Ada jenis-jenis judul yang “membosankan”. Ada yang terdengar sangat elegan. Nggak semua penulis mampu membuat judul yang keren dan memancing perhatian. Nah, novel ini, secara khusus bagi saya, judulnya sangat menarik. Panjang sih, tapi beda. Setelah membaca keseluruhan cerita, kita akan menyadari bahwa judul ini memang sangat cocok. Nggak berlebihan dan nggak kurang. Pas.

Yang kedua, halaman pertama. Pembaca yang baik pasti tidak akan melewatkan halaman pertama. Di sanalah para pembaca akan memutuskan apakah novel ini akan menyajikan sebuah cerita yang menarik atau tidak. Di sanalah biasanya jiwa sebuah novel terletak.

Ada perbedaan yang mencolok antara ibuku dan gula jawa soal rentang waktu aku mengenal keduanya. Hlm. 7

Ketika membaca kalimat pertama ini, saya mulai merasa sedang jatuh cinta. Ini novel yang tepat untuk saya, begitu bisikan dalam hati. Yap, semakin jauh membaca, saya merasa semakin suka dengan gaya bahasa dan ritme yang disajikan penulis. Ia bercerita dengan perlahan tetapi penuh makna. Tidak ada kalimat yang terbuang sia-sia karena semuanya saling menopang sebuah cerita yang utuh.

Dalam menuturkan ceritanya, penulis menggunakan alur maju. Ia bercerita tentang kehidupan Agus yang ditinggal pergi (meninggal) oleh bapaknya yang berprofesi sebagai penderes. Penderes adalah sebutan bagi orang-orang yang menyadap nira dari batang-batang bunga kelapa. Bukan hanya menderes, sang bapak juga seorang pengrajin gula jawa tradisional.

Setelah sang bapak meninggal, hidup Agus berubah drastis. Ia diangkat menjadi anak oleh Pak Lurah atas dasar balas budi kebaikan bapaknya pada masa lalu. Agus pun memiliki kesempatan untuk meneruskan sekolah hingga ia berhasil menjadi seorang trainer dan auditor di sebuah perusahaan sertifikasi internasional yang memiliki cabang di Jakarta.

Singkat kata, hidup Agus sudah sempurna. Namun, jalan bercabang itu tampak ketika kakak angkatnya, Mas Bayu datang menawarkan sebuah kesepakatan. Mas Bayu memintanya pulang kembali ke desa di Blitar untuk membuat sebuah pabrik gula kelapa berbentuk cair.

Bukan pilihan yang mudah bagi Agus mengingat ia telah berhasil mencapai puncak kehidupan. Ia harus kembali turun dan memulai segala sesuatu dari nol bersama keluarganya. Ia juga harus meninggalkan kekasihnya, Anggi, di Jakarta.

Cerita yang sarat konflik psikologis ini benar-benar dikemas dengan menarik oleh penulis. Kita akan larut dalam pergulatan batin tokoh Agus sehingga membuat kita ikut berefleksi tentang kehidupan. Kalau saya berada dalam posisi Agus, jalan apa yang akan saya pilih? Senangnya, meskipun pilihan Agus ini terlihat nggak masuk akal, penulis dengan telaten menjabarkan alasan-alasan yang tepat sehingga tak berkesan sekadar dongeng.

Bagian ketiga yang membuat saya mengagumi novel ini adalah kemampuannya mendeskripsikan para tokoh dengan baik. Ada konsistensi yang nyata ketika penulis menyebut Mas Bayu adalah orang yang sangat tekun. Artinya, di dalam seluruh cerita, karakter itulah yang bisa kita dapatkan dari Mas Bayu. Begitu juga dengan Ratna dan Agus.

Minggu demi minggu berlalu. Berat badan Mas Bayu turun drastis. Aku tahu jam tidurnya sudah sangat kurang dibanding kebutuhan tidur manusia normal. Sebenarnya dari dulu Mas Bayu memang bukan tipe orang yang senang tidur berlama-lama. Hlm. 122

Hal selanjutnya adalah ide. Memilih sebuah cerita yang berlatar kedaerahan bisa dibilang gampang-gampang susah. Bisa jadi terlalu datar atau justru menarik. Menarik ketika penulis mampu menggali dengan dalam segala persoalan yang ada di daerah tersebut dan menjabarkannya dalam sebuah kisah. Kehidupan para penderes, yang tertekan oleh harga gula jawa yang rendah, adalah kegelisahan yang ingin diungkapkan penulis. Begitu juga dengan kebiasaan hijrahnya anak-anak muda ke kota untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan meninggalkan tanggung jawab mereka di desa. Semua menyatu dalam sebuah cerita yang awalnya tampak seperti keping-keping masalah. Menyatukan isu-isu semacam itu membuat cerita ini lebih mendarat dan penuh nilai.

Selebihnya novel ini berisi banyak sekali hal baru. Kadang-kadang malah tampak seperti “kuliah” dimana kita belajar tentang cara membuat mesin atau cara pemasaran yang efektif. Namun, hal itu masih belum mengganggu kok. Justru menjadi tambahan pengetahuan bagi pembaca.

Ada pula satu bagian yang seperti diulang, yaitu ketika Agus mempertanyakan maksud sang kakak membuat pabrik di desa.

“Mengapa Mas hendak melakukan ini? Apakah hasil dari sawah dan ternak sapi masih kurang?.. ” Hlm. 55

“Tapi, mengapa Mas mau melakukan ini semua? Apakah hasil dari sawah dan sapi masih kurang?” Hlm. 57.

Dan jawaban dari kedua pertanyaan yang sama ini ternyata berbeda. Jika memang untuk menegaskan, pertanyaannya mungkin harus diubah atau dimodifikasi supaya tak terkesan mengulang-ulang hal yang sama.