Day 69: Pertemuan di Pulau Weh

Judul: Weh

Penulis: Pia Devina

Penerbit: deTeens

Jumlah halaman: 243

Tahun terbit: September 2014

weh

Sinopsis

Weh adalah sebuah pulau kecil yang terletak di barat laut Pulau Sumatra. Di pulau ini, Tami dan Faris bertemu. Tami datang sendirian ke Pulau Weh ditemani oleh bayang-bayang Jeff–yang meninggal karena kecelakaan mobil. Keduanya adalah sahabat akrab, meskipun Tami memiliki perasaan yang lebih dalam dari itu bagi Jeff. Pulau Weh adalah daftar tujuan wisata ketujuh yang ingin mereka kunjungi bersama. Sayangnya, ya itu tadi, Jeff keburu dipanggil Yang Mahakuasa.

Jadi, Tami berkelana sendirian di Pulau Weh dengan murung dan sendu mengingat Jeff. Tak disangka, kehadirannya menarik perhatian Faris, cowok yang sedang liburan unyu bersama teman-temannya. Faris sendiri juga membawa beban yang tak kalah berat. Cinta terpendamnya pada Gladys semakin membuat galau karena Gladys kehilangan Putra–karena meninggal. Wah, alurnya cukup rumit ya. Ada beberapa kesamaan jalan hidup pada tokoh-tokohnya.

Intinya, ini adalah cerita perjuangan Faris mendapatkan hati Tami yang dingin sembari mencoba menyingkirkan kehadiran Gladys yang tak memberi kontribusi besar dalam hidupnya. Dalam perjuangan itu, Faris dibantu oleh Sindy, sahabat Tami yang sudah bosan melihat cewek itu bermuram durja. Sindy dan Faris merancang perjalanan ke Raja Ampat. Namun, ada hal yang memberatkan Tami untuk berani mendekat pada Faris. Hal yang sangat.. sangat tak diduga. Apa itu? Nah.. baca sendiri ya. Hihi.

Review

Ada dua tokoh utama dalam novel ini, yaitu Tami dan Faris. Hal ini juga ditunjukkan oleh penulis melalui pemakaian sudut pandang dari kedua tokohnya. Memakai sudut pandang ganda memang sangat membantu, bukan hanya membantu penulis untuk lebih gampang menunjukkan perasaan tokoh, tetapi juga membantu pembaca melihat dari sudut pandang berbeda. Misalnya, ketika Faris secara nggak sengaja memecahkan bola kaca Tami. Kalau ini adalah film layar lebar, kita akan disuguhi gambaran lengkap, mulai dari wajah pias Faris setelah kejadian itu sampai kemarahan yang muncul dalam diri Tami.

Menariknya, ada dua tokoh tak kasat mata dalam novel ini. Setidaknya dalam waktu “present”. Mereka adalah Jeff dan Putra. Porsi penceritaannya lebih banyak Jeff karena ia berada di ring satu; berhubungan langsung dengan tokoh utama. Mereka diceritakan telah meninggal namun sisa-sisa keberadaannya masih tampak melalui kesan yang tertinggal. Meskipun tak nyata, peran mereka bisa dibilang penting. Dari merekalah akar konflik dimulai. Seandainya Jeff nggak meninggal, tentu Tami nggak akan galau dan santai-santai aja ketika bertemu dengan Faris. Misalnya Putra masih ada, tentu Gladys juga nggak akan galau-galau banget dan melakukan sesuatu yang memperburuk keadaan. Overall penggambaran tokoh dan penokohan dalam novel ini cukup memuaskan.

Setting tempat yang digunakan penulis adalah di Pulau Weh (sebagian besar), Bandung (sedikit), dan Raja Ampat. Penulis menunjukkan lokasi khas daerah setempat seperti Iboih, Sabang, Wasai, dan sebagainya. Sayangnya, saya nggak merasakan nuansa yang berbeda, misalnya ketika tokoh bersentuhan dengan orang lokal di Aceh (Bu Raya) atau di Raja Ampat (Pak Jeri). Ada sedikit percakapan tetapi belum membangun suasana. Jadi, yaa.. mereka hanya seperti sekelompok turis yang berlibur dan numpang tinggal sebentar–untuk melakukan adegan-adegan dalam novel–di tempat tujuan wisata itu.

**

Jeff.. maafkan aku..

Bolehkah tempatmu di hatiku.. kugantikan dengan kehadiran lelaki lain?

Jeff.. izinkan aku belajar mencintai orang lain dan menjadikan kenangan kita sebagai memori yang selalu tersimpan di hati dan benakku… (Hal. 242)

Kisah Tami dan Faris (juga Gladys) bisa dibilang senada. Mereka kesulitan membebaskan diri dari kenangan masa lalu. Kematian orang yang dikasihi membuat mereka nggak bisa membuka hati untuk orang lain, hal ini terutama kelihatan dalam hidup Tami. Cewek itu berubah menjadi dingin dan beku. Jadi, ketika Faris mati-matian menarik perhatiannya, ia bergeming.

Bukan hanya Tami, Faris dan Gladys pun memiliki masalah serupa. Orang-orang dari masa lalulah yang membuat mereka tak bergerak maju. Kalau bahasa anak muda zaman sekarang, nggak bisa move on. Hati masih terpaut pada keindahan semu masa lalu. Padahal, waktu tak bisa diputar lagi. Keputusan penulis “membunuh” Jeff (dan Putra), menurut saya langkah aman. Kematian akan menciptakan perasaan sedih yang total dan maksimal. Tentu beda kalau misalnya Jeff pergi karena berselingkuh dengan wanita lain. Jadi, dengan alasan tersebut, Tami (dan Gladys) memiliki alasan yang wajar untuk melakukan bunuh diri (tak sengaja).

Dari pengerjaan plot, saya kasih nilai sempurna deh. Saya yakin, butuh usaha dan upaya yang cukup keras untuk memunculkan konflik yang saling terkait seperti itu. Benang-benang kebetulan nggak terlalu kentara. Meskipun, ya saya agak berharap bahwa Gladys dan Tami bukan hanya semacam “kembaran” yang kisah hidupnya persis plek. Bagaimanapun, setiap manusia berbeda.

Secara umum, novel ini cukup menarik, apalagi bagi seorang traveller. Bayangan akan menemukan belahan hati pada salah satu perjalanan pasti pernah mampir, betul tidak? Hehehe. Weh, akan membuatmu percaya bahwa travelling bukan sekadar berlibur dan santai-santai, tetapi bisa membawamu ke sebuah fase kehidupan yang berbeda.

Tinggalkan komentar