[Resensi Buku] Cinta Tak Kenal Batas Waktu – Wulan Murti

Candra belum dapat melupakan Fabian meskipun telah setahun berlalu. Setiap kali ke Bandung, selain mengunjungi makam Fabian, ia pun menapak tilas tempat-tempat penuh kenangan mereka berdua. Dia masih merasa Fabian ada di sampingnya.

Setengah hatinya menyadari bahwa tindakannya ini sia-sia dan konyol. Namun, rasa tak mau kehilangan menggenggam erat hati Candra. Sebuah surat dari mendiang Fabian menyadarkannya bahwa cinta mereka tak akan berubah. Namun Candra harus merelakannya dan merengkuh cinta lain.

Karena hidup itu pendek, cinta itu panjang.

♣♣♣

Judul: Cinta Tak Kenal Batas Waktu

Penulis: Wulan Murti

Penerbit: Senja

Cetakan pertama: 2016

Jumlah halaman: 212

ISBN: 978-602-391-091-5

♣♣♣

Cerita novel ini dimulai di atas kereta yang sedang melaju. Tokoh “aku” alias Candra sedang berbincang dengan seorang ibu asal Surabaya bernama Rasmi. Bu Rasmi bertanya, siapa yang akan menjemput Candra saat tiba di stasiun nanti? Candra hanya menjawab bahwa ia akan naik taksi saja.

Sejak awal, ada sebuah teka-teki yang dibangun penulis mengenai kedatangan Candra ke Bandung seorang diri tanpa dijemput. Ya, mungkin dia perempuan tipe petualang yang ingin menjelajah berbagai tempat dengan berani. Lagipula, Candra kan bukan anak-anak lagi. Kalau saya dikhawatirkan ibu-ibu seperti itu saat sedang dalam perjalanan, mungkin saya agak sedikit risih, tetapi diterima saja deh. Mungkin naluri ibu memang begitu, hehe.

Kisah kemudian berlanjut di sebuah tempat yang.. asing dan tak terduga. Saya nggak menyangka jika Candra akhirnya tiba di areal pemakaman. Di sebuah pusara, ia menaruh bunga krisan sambil berkata, “Bon-bon sayang, Bin datang.”

Oke, siapakah Bon-bon ini? Namanya terdengar agak aneh. Selanjutnya kita akan menyadari bahwa Bon-bon adalah kekasih Candra yang sudah meninggal. Candra–yang belum bisa melupakan Bon-bon–selalu datang dari Solo untuk “menjenguk” makam Bon-bon di Bandung. Terasa kental sekali kesedihan yang dialami Candra karena kepergian kekasihnya itu.

Kisah tentang seorang gadis yang kehilangan dirinya karena ditinggal pergi kekasihnya mungkin cerita yang sudah biasa. Namun, kisah tentang kekasih yang ditinggal selama-lamanya, adalah sesuatu yang bikin mellow.

Apa yang dirasakan Candra semuanya tertuang dalam baris-baris kalimat dalam novel ini. Misalnya, bagaimana ia merasa semakin sedih ketika bertemu teman-teman Bon-bon dan keluarganya. Segala hal yang ia lihat dan amati di Bandung pun membawanya kembali pada kenangan indah saat Bon-bon masih ada.

Candra sulit sekali untuk move on. Namun, ternyata kunjungannya itu adalah awal harapan baru baginya. Banyak hal mulai terkuak, termasuk pertemuannya dengan Joseph, sahabatnya dan Bon-bon. Ada sesuatu yang dari dahulu tersembunyi dari Candra dan kini mulai terlihat jelas.

Pada akhirnya, mempertahankan cinta pada seseorang yang sudah tiada mungkin saja bisa dilakukan, tetapi tidak untuk selamanya. Candra mau tidak mau harus meneruskan langkahnya dan menjadikan Bon-bon sebatas monumen abadi dalam hatinya.

Kisah yang ditulis oleh Wulan Murti ini sarat duka. Kita disuguhi kesedihan yang dialami Candra setiap saat, kenangan-kenangan yang menguar di sekelilingnya. Kita juga dibawa ke masa happy mereka dan merasa tertegun saat melihat keadaan sekarang. Beda banget rasanya. Namun, rupanya penulis tak lupa memberi harapan. Ada sesuatu di ujung jalan jika kita bersedia mengikhlaskan apa yang sudah terlanjur terjadi.

Penuh teka-teki. Itulah kesan saya terhadap novel ini. Penulis menyimpan beberapa rahasia dan baru kemudian dibuka perlahan-lahan pada akhir kisah. Kita digiring untuk membaca lebih banyak supaya mengetahui rahasia di balik semua itu. Saya cukup menikmati novel ini karena alurnya yang terkait satu sama lain dan tak putus hingga halaman terakhir.

Yang sedikit mengganggu adalah penggalan-penggalan kalimat yang menurut saya “keterlaluan” pendeknya. Memang sebaiknya kalimat yang enak dibaca itu tidak terlalu panjang, tetapi jika terlalu pendek pun akan bikin capek. Misalnya,

Kami sampai di rumah sepupuku. Bon-bon mampir sebentar. Berjanji akan menjemput lebih pagi hari berikutnya. Agar kami bisa berkeliling ke beberapa tempat yang sudah direncanakan. Hal. 133

Atau,

Saat menerangkan, aku berusaha mengatur nada bicara. Senetral mungkin. Sangat santai. Agar tak kentara perasaan terdalamku. Karena selama saling telepon, SMS, dan email, aku bersikap baik. Tidak macam-macam. Ataupun memancing. Takut ada salah prasangka. Hal 88

Namun, mungkin saja ini adalah ciri khas penulis yang sengaja disebar di seluruh cerita; seperti penggalan-penggalan kalimat dalam puisi yang tanpa aturan baku.