Day 42: Belajar Menghadapi Kenyataan Melalui Seduhan Secangkir Kopi

Kopiss

Judul: Kopiss

Penulis: Miko Santoso

Penerbit: DIVA Press

Jumlah halaman: 280

Tahun terbit: Agustus 2014

Sebelum memulai review novel ini, saya mau beri applause terlebih dulu untuk kepiawaian penulis merangkai kata-kata. Hebat. Ini jenis novel yang akan masuk dalam list saya saat belanja buku. Oh,ya, saya memang adiktif pada cerita yang kaya diksi.

Oke, mari kita mulai..

KOPISS. Ini adalah nama sebuah kafe di Kompleks Perumahan Bintaro Jaya. Kafe ini dulunya adalah sebuah rumah tinggal yang bergaya victoria. Pemiliknya Qiana (yang dibaca dengan cara biasa aja, bukan Kyaiianaa.. :p). Lalu, datanglah Gili serta Onne. Mereka bertiga menjadi motor penggerak kafe yang khusus menyajikan menu kopi racikan sendiri, mulai dari cappuccino, espresso, dan sebagainya. Pada gilirannya nanti, muncul pula seorang Sher, yang ahli menciptakan makanan berupa cheese cake, pretzel, cupcakes dan.. ah cukup, membayangkan semua itu membuat saya menelan ludah.

Cerita penuh dengan istilah-istilah kopi. Roasting. Milk jug. Crema. Third wave coffee. Saya yakin, mereka-mereka yang hanya minum kopi “seadanya” aja (termasuk peminum kopi sachetan) nggak begitu kenal dengan istilah-istilah seperti ini.

Wajar aja.

Mereka bertiga bisa dibilang cukup profesional dalam mengelola bisnis kopi yang sedang digeluti itu. Bahkan Gili, sudah pernah bekerja di Kafe Liwa dan mengenal teknik pembuatan kopi yang enak, pro meskipun belum sampai memenangi kejuaraan barista. Qiana sendiri lahir di antara aroma kopi. Sang ayah memiliki sebuah mesin bernama Silvia dan bersama mesin itulah Qiana memulai hari-harinya di masa kecil. Ia belajar meracik kopi dan teori-teori dasar lain yang seharusnya diketahui seorang penikmat kopi sejati. Sementara Onne, yah, sejalan dengan waktu, ia belajar dari kedua rekannya dan ikut menjadi profesional yang juga mengerti kepentingan manajerial dalam dunia bisnis kopi. Komplit. Cocok.

Namun, keberadaan mereka bertiga yang tampaknya sempurna bukan berarti hidup menjadi lancar-lancar saja. Satu demi satu diuji ketegarannya. Mereka memiliki problem sendiri-sendiri yang harus dihadapi. Qiana dengan ketidakmampuannya move on dari masa lalu, Onne dengan masalah pekerjaan dan keluarga, serta Gili dengan kekasih yang beda agama dan berada di ambang perceraian.

“Hidup itu memang seperti meniti tangga masalah. Setiap pendakian baru berarti masalah baru. Kita tidak bisa benar-benar lepas dari tangga itu. Ya, kecuali mati.” (Hal. 243)

Ya, siapa sih yang nggak punya masalah di dunia ini. Tokoh dalam novel aja punya. Haha. Ini satu hal yang saya senangi saat membaca Kopiss. Ia begitu mengerti fakta yang terjadi di dunia nyata. Bukan kisah yang mengawang-awang, bukan juga sesuatu yang berlebihan. Seperti adanya.

Cara penceritaan seperti itulah yang membuat saya, khususnya, bisa larut dalam lembar demi lembar novel ini. Selain dari kuliah tentang biji kopi yang harus diapain dulu biar enak, secara implisit dan eksplisit saya juga diajari mengenai bagaimana menghadapi dan menerima kenyataan. Misalnya, sesuatu yang sudah terjadi, ya sudah, biarkan saja terjadi. Hadapi dan terima. Lalu, bangkit lagi.

TOKOH, PLOT, SETTING

Seperti sudah disebutkan, tokoh utama dalam Kopiss adalah Qiana, Gili, dan Onne. Mereka begitu berbeda tetapi diikat dalam sebuah persaudaraan khas cewek-cewek. Sedikit usil, cerewet, agak cengeng, tapi tetap dewasa. Dalam beberapa adegan yang tersaji, para tokoh bisa tampak sangat kekanakan, bisa juga bersikap bijak. Memang begitulah seharusnya manusia. Emosi yang dirasakan nggak mungkin sama dan cara penyelesaian masalah bisa berbeda.

Untuk plot, nggak ada kelemahan apapun. Semuanya mengalir. Hal itu yang akan membuat pembaca enggan meletakkan novel ini sejenak saja. Setting? Selain Jakarta, Malang juga merupakan latar tempat yang dipilih penulis. Tentu saja, ia tak lupa menyisipkan ungkapan-ungkapan khas Malang yang membangun suasana. Misalnya, dalam percakapan Lek Karto dan Onne, ketika ia pulang kampung.

Selebihnya, ada beberapa yang typo, tapi dibanding dengan kesempurnaan yang terdapat dalam novel ini, saya bisa bilang, “No problemo”. Cover dan layout-an pun pas adanya. Nggak berlebihan, menarik, dan segar.

Dari semua hal yang telah saya beberkan tersebut, tentu nggak mengherankan jika (dengan spontan) saya bersedia merekomendasikan buku ini kepada teman-teman saya, para pecinta kopi dan buku. Mereka juga harusnya memiliki kesempatan menikmati sajian lezat dari seorang Miko Santoso. (Nah, tuh, sampai lupa mengulik latar belakang sang penulis saking asyiknya bicara soal kisah Kopiss. Sst, ia juga seorang pengusaha kopi, lho. Sana gih, kenalan. Hihi.)

“Namanya cinta. Benda ini bukannya tak berwujud seperti kentut. Cinta itu kumpulan materi, memiliki dimensi. Aku dapat melihatnya secara nyata. Dipegang pun bisa.” Hal 277.

7 tanggapan untuk “Day 42: Belajar Menghadapi Kenyataan Melalui Seduhan Secangkir Kopi”

Tinggalkan komentar